Kakak beradik ini bermaksud mendatangi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, hendak melaporkan kasus dugaan pencaplokan dan perusakan atas lahan milik mereka seluas 21.000 meter persegi (2,1 hektare) yang terletak di Kelurahan Paniki Bawah, Kecamatan Mapanget, Kota Manado.
"Sudah hampir 30 tahun kami berupaya mengurus sertifikat atas tanah tersebut, tapi terbentur oleh intimidasi yang dilakukan oknum aparat keamanan yang disuruh menjaga tanah itu. Kami tak pernah bisa memasuki tanah kami sendiri," tutur Oma Regina sapaan akrab sang nenek yang diamini sang adik, Theresia, di Jakarta, Senin (2/3).
Cerita bermula pada 1990, ketika Regina dan Theresia menerima tanah warisan dari orangtua mereka, Antonius Nelwan Pinontoan. Selain mereka, awalnya ada dua adik lelaki yang juga ahli waris: Aloysius dan Frice Pinontoan. Namun keduanya sudah meninggal dunia.
Tanah tersebut belum bersertifikat. Satu-satunya alas hak yang mereka miliki adalah Akta Jual Beli (AJB) saat Antonius Pinontoan, orangtua mereka, membeli tanah tersebut dari Buda Pinontoan pada 1969. AJB yang ditandatangani Lurah Paniki Bawah tersebut tercatat dalam register desa.
Selain tanah 2,1 hektare, di sebelahnya juga terdapat tanah lain milik keluarga Pinontoan seluas 7 hektare. Sejak 1969 hingga 1990, kedua lahan ditanami pohon kelapa, cengkeh, dan pala. Sampai kemudian, terjadi penjualan atas lahan yang 7 hektare kepada PT AKR (Aneka Kimia Raya) Land Development.
"Yang dijual cuma tanah yang 7 hektare. Tanah yang 2,1 hektare tidak pernah kami jual. Bahkan, sejak dibeli AKR pada 1990, tanah yang 7 hektare itu sampai sekarang baru dibayar separuh," tutur Theresia.
Jika didasarkan pada kondisi saat ini, harga pasar untuk tanah di lokasi dalam Kota Manado itu mencapai Rp 5 juta per meter persegi. Sementara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tercatat Rp. 3 juta per meter persegi. Artinya, dengan luas 2,1 hektare, harga pasarnya setara dengan Rp. 110 miliar.
Masalah muncul karena sejak "tanah sebelah" dijual ke AKR, tanah yang 2,1 hektare pun seperti ikut diakuisisi. Selain dijaga oknum aparat keamanan, pepohonan di lokasi itu pun dirusak, ditebang, sehingga tak menghasilkan lagi. Regina yang pensiunan guru SD dan Theresia yang pensiunan pegawai bea cukai, mengaku tak bisa berbuat apa-apa.
"Kami cuma orang kecil, warga kampung yang enggak berdaya," ungkap Regina.
Setelah hampir tiga dasawarsa gagal mendapatkan sertifikat, Regina dan Theresia lalu menguasakan pengurusan atas lahan tersebut kepada Abduh Badar, dengan tugas mengembalikan hak kepemilikan kepada kedua oma.
Abduh Badar atau akrab disapa Alex, bergerak cepat. Ia mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Manado, juga PT AKR Land yang berkantor pusat di Jakarta. Hasilnya, dia kaget, karena di atas lahan 2,1 hektare itu sudah ada sertifikat bernomor 5485 Tahun 2018 dengan kepemilikan atas nama AKR Land. Sertifikat diterbitkan oleh BPN Kota Manado.
Setelah mendapatkan salinannya, Alex mencatat ada setidaknya empat kejanggalan. Pertama, sertifikat itu dibuat dengan mengacu pada sertifikat sebelumnya, yang juga terbitan BPN Kota Manado, bernomor 753 Tahun 2017.
"Tapi karena dianggap palsu, sertifikat No. 753/2017 itu sudah dibatalkan oleh BPN Sulut. Pembatalan itu kemudian ditindaklanjuti oleh Pengadilan Negeri Manado dengan menyita dokumen sertifikat tersebut," tutur Alex selaku penerima kuasa.
Anehnya, meski sudah dibatalkan dan disita pengadilan, tiba-tiba muncul sertifikat baru bernomor 5485/2018 dengan dasar sertifikat sebelumnya yang notabene sudah dibatalkan.
Kejanggalan kedua, lanjut Alex, penerbitan sertifikat itu tidak ada alas haknya. Sebab, alas hak yang asli berupa Akta Jual Beli (AJB) hingga kini berada di tangan ahli waris keluarga Pinontoan. Lalu, apa yang menjadi dasar BPN Manado menerbitkan sertifikat itu.
Kejanggalan ketiga, Alex mengaku pernah ditunjukkan oleh AKR dokumen surat pernyataan yang seolah-olah ditandatangani oleh Regina dan Theresia. Isinya, penyerahan AJB register desa atas tanah itu dari keluarga Pinontoan kepada AKR.
Kali lain, Alex juga pernah ditunjukkan surat pernyataan yang bahkan ikut ditandatangani mendiang Aloysius dan Frice. Anehnya, surat pernyataan itu keluar setelah Aloysius dan Frice meninggal. Kata Alex, dokumen AJB awalnya memang disimpan Aloysius. Namun, saat dia sakit, AJB itu telah diserahkan ke Regina.
"Logikanya, kalau Aloysius dan Frice benar tanda tangan, kenapa AJB yang asli tidak dikasihkan ke AKR, malahan diserahkan ke Oma Regina?" tanya Alex, yang menantang dilakukan uji forensik untuk memastikan keaslian AJB.
Kejanggalan keempat, terkait dengan penerbitan sertifikat No. 5485/2018. Alex mengaku sudah mengajukan komplain ke BPN Kota Manado. Sebab, sertifikat tersebut diterbitkan pada 20 Desember 2018, tapi sejak Agustus 2018 Alex mengaku telah menerima salinannya. Itu berarti, secara fisik, sertifikat sudah lebih dulu keluar sebelum resmi ditandatangani.
Alex lalu bersurat ke BPN Provinsi Sulut, bahkan hingga ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Surat itu kemudian disikapi oleh Kementerian ATR dengan meminta BPN Kota Manado untuk menyampaikan bukti-bukti hukum terkait penerbitan sertifikat No. 5485/2018.
Namun, BPN Manado tak merespons dan tidak memberi alasan. Dari situ, Alex berkesimpulan, BPN Kota Manado telah dengan sengaja melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Dia bahkan menyimpulkan, indikasi pemalsuan dokumen sangat kuat.
Upaya mediasi bukan tak dilakukan. Pada 2018, Alex bersurat ke AKR Land dan Lurah Paniki Bawah untuk melakukan mediasi. Kelurahan kemudian mengundang kedua pihak untuk bertemu, tapi AKR tidak hadir. Saat diundang untuk mediasi kedua, lagi-lagi AKR mangkir.
Karena upaya mediasi di kelurahan gagal, pihak keluarga kemudian meminta bantuan pengacara Franklin Hinonaung melayangkan somasi ke BPN Manado. Namun, somasi tersebut tidak dijawab. Langkah ketiga, Alex kemudian berusaha meminta BPN Kota Manado yang melakukan mediasi.
Kali ini berhasil. November 2019, saat mediasi pertama dilakukan di kantor BPN Kota Manado, juga mediasi kedua di lokasi lahan sengketa, pihak AKR mau datang. Namun, ketika hendak dilakukan mediasi ketiga di kantor BPN dengan agenda membuka warkah untuk menunjukkan bukti hukum, AKR kembali mangkir.
Warkah adalah kumpulan berkas yang digunakan BPN sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat untuk sebidang tanah. Warkah hanya dapat dibuka atas permintaan pemilik tanah atau pemilik hak. Karena sudah tiga kali dimediasi, BPN menolak melakukan mediasi lagi dan mempersilakan kami menempuh jalur hukum.
Itu sebabnya, Oma Regina dan Oma Theresia akhirnya terbang ke Jakarta. Rencananya, pekan ini mereka akan mendatangi Bareskrim Polri untuk mengadukan kasus penyerobotan dan perusakan lahan milik mereka. Mereka meminta bantuan agar hak-hak dikembalikan. Atau, kalau mau dibayar, dilunasi segera.
BERITA TERKAIT: