Protes tersebut disampaikan puluhan warga dalam audiensi di gedung DPRD Bangka Belitung (Babel) kemarin (Senin, 3/9). Warga menilai, sikap perusahaan itu tidak sesuai dengan janji mereka saat pertemuan awal dahulu.
PT Vipro sendiri adalah perusahaan yang diberi mandat oleh otoritas penerbangan untuk memangkas Bukit Manunggal guna memperlancar jalur penerbangan Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Dalam pengerjaannya, PT Vipro melakukan peledakan untuk memangkas bukit itu.
“Sebagai masyarakat, kami berharap jika datang ke tempat kami maka harus tahu betul kondisi kami. Ini tidak, perusahaan seperti mendiskriminasi kami, tidak sesuai pada pokok pertama pertemuan. Misalnya, berdayakan masyarakat sebagai tenaga kerja, kalau ada kerusakan tolong juga diganti dan perhatikan juga warga yang terkena serangan jantung karena
blasting," kata tokoh agama Air Mesu, Abdul Ganepo, seperti dilansir
Kantor Berita RMOL Babel, Selasa (4/9).
Warga tak mau lagi menerima keberadaan perusahaan yang dimandatkan oleh otoritas penerbangan. Bahkan, warga lainnya, bersama Ketua Badan Pemusyawaratan Desa Air Mesu sepakat untuk tak menginginkan lagi perusahaan PT Vipro melakukan aktivitas pemangkasan bukit Manunggal. "Banyak kesepakatan tak dilaksanakan. Kami seperti di-PHP (pemberi harapan palsu-red)," tukasnya.
Oleh karena itu, kata dia, warga sepakat untuk tak lagi menerima keberadaan PT Vipro. "Keputusan warga sudah final, kami mau perusahaan ini diganti karena tak bisa bekerjasama dengan masyarakat dan pemdes," jelasnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Babel Didit Srigusjaya yang memimpin audiensi mengatakan, pihaknya akan membentuk pansus untuk menindaklanjuti permasalahan pemangkasan Bukit Manunggal. Langkah ini diambil karena tidak ada titik temu antara masyarakat Desa Air Mesu dan pihak perusahaan.
"Pansus ini yang mengecek langsung ke lapangan apa yang terjadi sebenarnya. Kita bersama instansi terkait mencari fakta di lapangan," ujar Didit di pertemuan yang dihadiri pihak perusahaan, instansi terkait, pekerja dan Ketua KSPSI Babel.
Terkait penolakan, Didit pun meminta BPD Air Mesu untuk membuat surat resmi penolakan perpanjangan izin operasi perusahaan yang akan habis Oktober mendatang. "Jika memang tak ingin lagi perusahaan itu, kami minta surat resmi dari hasil musyawarah Desa Air Mesu yang akan menjadi dasar kami membentuk pansus," terangnya.
Terkait protes masyarakat tersebut, Direktur Operasional PT Vipro Soni Nugroho mengatakan upaya musyawarah dengan warga sudah ditempuh. Hanya saja hingga saat ini belum ada titik temu.
"Intinya kami mengikuti apa yang disampaikan pak ketua dewan. Kita pendekatan ke masyarakat semua hal ini sudah kita lakukan, tapi mungkin komunikasinya belum sampai," katanya.
Soni mengatakan, pihaknya bersama dinas terkait telah turun untuk mengindentifikasi rumah warga yang retak akibat terdampak
blasting. Hasilnya, didapati 31 rumah yang diduga terdampak
blasting.
"Hanya saja masalahnya batas kewajarannya itu dimana. Jangan minta rumah biasa, besok-besok minta rumah bertingkat. Intinya kita cuma menunggu batas kewajarannya saja. Kemudian siapa yang bisa menentukan itu kena
blasting atau tidak? Kan tidak ada yang tahu. Kami dari CSR, mau karena
blasting atau tidak, tetap kita bantu," sambung Soni.
Terhadap tudingan bahwa perusahaan tidak pernah membayar CSR kepada pihak desa atau masyarakat, Soni menampiknya.
" Wah itu kita bahkan sudah kerjasama dengan Bumdes zaman pak Muhamad Nur, kita sudah berikan sawit 14 hektare hasilnya untuk dipakai Bumdes. Kita yang namanya jalan selalu yang kita kasih, karena itu bentuk laporan kita ke dinas terkait, jumlahnya mencapai Rp200-300 juta pertahun," ungkap Soni.
[yls]
BERITA TERKAIT: