Warga transmigrasi SP 1 dan SP 2 di Desa Singkuang sudah belasan tahun berjuang agar hak lahan mereka kembali, namun sampai saat ini lahan seluas kurang lebih 892 hektar itu masih dikuasasi PT RPR.
Ironisnya, setelah melewati proses persidangan di PN Madina, dan pengadilan tingkat pertama tersebut mengeluarkan putusan dan menguatkan bahwa lahan itu secara sah dan meyakinkan adalah hak warga. Bahkan, PN Madina meminta pihak perusahaan dan BPN Madina supaya mengeluarkan lahan milik masyarakat trans Singkuang itu dari areal lahan sertifikat HGU yang dimiliki PT Rendi Permata Raya.
"Kami sekarang hanya menunggu mukjizat keadilan dari Yang Maha Kuasa. Karena kami sudah melakukan apapun untuk memperjuangkan hak dan lahan kami yang dirampas perusahaan," kata tokoh warga trans Singkuang Baharuddin, Rabu (28/2).
"Kami sangat berharap keadilan masih ada dan ditegakkan dalam sengketa yang sudah belasan tahun kami jalani ini," keluh rekannya M. Nur Sitanggang.
Sengketa tersebut saat ini sudah ditangani oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Kota Medan, dikarenakan pihak tergugat yakni PT RTR dan BPN Madina menyatakan banding atas putusan PN Madina.
Namun, Baharuddin menyebutkan sampai sekarang mereka belum mendapat konfirmasi apapun dari PT Sumut atas proses banding yang dilakukan pihak tergugat. Sementara, warga trans Singkuang khawatir pihak tergugat melakukan upaya-upaya di luar prosedur hukum untuk memenangkan perkara tersebut.
"Kami semua khawatir mereka melakukan upaya di luar prosedur hukum untuk memenangkan perkara ini. Karena, sampai sekarang kami belum mengetahui sudah sejauh mana proses banding mereka di Pengadilan Tinggi. Kami hanya rakyat kecil dan miskin, kami tidak bisa berbuat banyak, kami hanya bisa meminta pertolongan ke semua pihak dan ke semua lembaga, selebihnya kami hanya bisa berdoa semoga kami mendapat mukjizat keadilan agar hak kami bisa kembali," tuturnya.
Di sisi lain, M. Nur juga menceritakan, setelah PN Madina menerima gugatan warga trans Singkuang dan menyatakan secara sah bahwa lahan tersebut milik warga. Sejak itu, warga yang sebelumnya banyak merantau untuk mencari kehidupan kini sebagian besar telah kembali, karena mereka beranggapan lahan tersebut akan kembali dan bisa mereka kelolah untuk melanjutkan kehidupan.
"Dulu kan banyak warga yang meninggalkan kampung ini dan pergi merantau dikarenakan lahan sudah dikuasai perusahaan itu, sebagian ada yang merantau ke luar kota, dan sebagian lagi ada yang mencari pekerjaan di perusahaan dekat-dekat sini dan menjadi buruh kasar. Itu semua disebabkan sulitnya hidup akibat lahan kami tidak bisa kami usahai," sebutnya.
"Tapi semenjak ada putusan PN, sebagian besar telah kembali pulang, namun yang kita sayangkan pihak perusahaan dan BPN masih banding, sehingga kami tetap tidak bisa menguasai lahan milik kami itu," jelas M. Nur menanggapi adanya isu yang menyebut banyak penghuni transmigrasi tidak lagi tinggal di areal lahan mereka.
[rus]
BERITA TERKAIT: