Anggota DPRD Maybrat, Maximus Air mengatakan bahwa pemindahan ibukota kabupaten yang terletak di Papua Barat itu berpotensi menimbulkan konflik masyarakat.
"Rencana pemindahan ibukota pemerintahan dari Kumurkek ke Ayamaro berpotensi menimbulkan konflik masyarakat, bahkan bisa perang suku," kata Maximus saat ditemui di Jakarta, Rabu (5/7).
Ia mengatakan bahwa mayoritas masyarakat Maybrat menolak rencana tersebut lantaran faktor nilai sejarah pemekaran Kabupaten Maybrat yang diinisiasi enam distrik. Sehingga, kebijakan untuk memindah ibukota bisa memicu provokasi masyarakat dan berpotensi menimbulkan perang antar suku.
Selain alasan sejarah, Maximus berdalih bahwa pemindahan ibukota Maybrat juga terindikasi melanggar UU berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI ditandatangani Gamawan Fauzi. Dalam hal ini Mendagri RI Gamawan Fauzi menerbitkan Surat Nomor : 700/3783/SJ tertanggal 19 Juli 2013 tentang Hasil Pemeriksaan Khusus Pelanggaran dan Pembangunan terhadap Peraturan Perundangan-undangan oleh Bupati Maybrat.
Dijabarkan Maximus, awalnya Bupati Bernard sempat memindahkan Ibukota Maybrat dari Kumurkek ke Ayamaro pada 2011. Selanjutnya, Bernard divonis majelis hakim tindak pidana korupsi bersalah 1,5 tahun lantaran kasus korupsi hibah Kabupaten Sorong dan Provinsi Papua Barat 2011 senilai 15 miliar.
Wabup Maybrat yang menggantikan Bernard sebagai bupati kemudian mengembalikan ibukota pemerintahan dari Ayamaro ke Kumurkek.
Setelah Bernard bebas dari hukuman, ia terpilih kembali menjadi Bupati Maybrat pada Pilkada 2017 dan berencana memindahkan kembali ibukota ke Ayamaro.
Diduga kebijakan Bernard memindahkan ibukota pemerintah itu tak lepas dari kepentingan pribadi, mengingat Ayamaro merupakan tempat kelahirannya.
[ian]