"Meningkatnya bencana di Indonesia perlu diantisipasi dengan mengembangkan kultur sadar bencana untuk mengurangi risiko bencana. Bencana bersifat multidimensi sehingga semua ilmu harus memberikan solusi terhadap bencana. Selalu dinamis dan harus dapat dilakukan preventif," ujar JK.
Demikian disampaikan JK saat menyampaikan sambutan pada pembukaan Pekan Ilmiah Tahunan (PIT) ke-4 dan Munas Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) di Balairung Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (8/5). Hadir dalam acara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei.
"Saya sharing pengalaman. Sebab salama 17 tahun saya ikut serta dalam penanganan bencana. Sejak menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat yang merangkap Ketua Bakornas, kemudian menjadi Ketua PMI. Apalagi saya terjung langsung menangani tsunami Aceh yang demikian dahsyat, kemudian gempabumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Lalu gempa Sumatera Barat dan bencana lainnya. Kultur kebiasaan masyarakat di Simeulue sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia saat ini. Begitu merasakan gempa besar langsung berlari ke bukit. Saat tsunami Aceh, kultur masyarakat Simeulue ini telah menyelamatkan warga sekitar. Hanya ada korban 10 jiwa, sedangkan di Aceh yang tidak memiliki kultur ini korbannya lebih dari 100 ribu jiwa," tambah JK dalam rilis Humas BNPB.
JK juga menyampaikan bahwa ternyata intensitas gempa tidak simetris dengan korban gempa.
"Kita lihat gempa 6,3 SR di Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 menelan korban 5.700 jiwa meninggal, sedangkan gempa 7,6 SR di Sumatera Barat menyebabkan 1.700 orang meninggal dunia. Dampak gempa tergantung pada lokasi, waktu dan kondisinya. Di Yogya penduduk lebih padat, rumah beratap genteng, kejadian pada subuh. Sedangkan gempa di Sumatera Barat terjadi pada sore hari dengan penduduk yang tidak sebanyak di Jawa," ungkapnya.
Jadi, lanjut JK, ada empat hal yang harus dijawab para peneliti, akademisi dan praktisi. Yaitu, apa, dimana, kenapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi? Iptek harus mampu memprediksinya secara tepat.
Dan untuk dapat mengatasi bencana, terang JK, maka ada tiga tahapan yaitu pertama tanggap darurat. Prioritas adalah penyelamatan korban. Kedua adalah rehabilitasi, dan ketiga rekonstruksi.
"Saat pasca tsunami, pemerintah menetapkan tanggap darurat selama tiga bulan, kemudian rehabilitasi tiga bulan dan selanjutnya rekonstruksi selama tiga tahun. Hal yang sama juga kita lakukan saat penanganan gempa Yogyakarta. Cepatnya penanganan bencana ini menjadi contoh dunia. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan penghargaan Global Champion for Disaster Risk Reduction kepada Pemerintah Indonesia," lanjutnya.
Terakhir, JK juga meminta agar bencana makin meningkatkan kesadaran akademisi dan ilmuwan untuk mencari inovasi dan kreativitas sehingga korban bencana darpat dikurangi.
Selama tiga hari 8-10 Mei, para ahli nasional dan internasional di bidang kebencanaan akan saling berbagi pengalaman, sharing knowledge serta brainstorming secara komprehensif terkait kebencanaan dan mensinergikan sains, teknologi, dan inovasi terkait kebencanaan.
Dengan tema 'Peran Masyarakat Bagi Pencapaian SDGs: Kontribusi Pemangku Kepentingan Untuk Penurunan Risiko Bencana', diharapkan pertemuan ilmiah ini mampu menghasilkan keluaran berupa tersusunnya Blue Print Riset Kebencanaan sebagai acuan dalam perencanaan dan penganggaran sesuai dengan kebutuhan penanggulangan bencana di Indonesia.
[rus]
BERITA TERKAIT: