Pedagang makanan dan minuman yang berjualan di loksem tersebut mengeluh lantaran mahalnya biaya sewa. Ada sebanyak 60 PKL yang menempati tenda loksem dengan ukuran 2 x 1,5 meter itu.
"Sebenarnya sih mahal. Tapi mau bagaimana lagi daripada kena gusur," ucap Uning seorang penjual kopi saat berbincang dengan
RMOL, Selasa (26/7).
Uning (30) yang sehari-hari berjualan di RT 07 RW 03 mengaku harus membayar Rp 20.000 per hari ke seorang koordinator berinisial JJ untuk satu loksem yang ditempatinya.
"Tadinya sebelum ada istilah loksem, saya sudah keberatan diharuskan bayar sewa Rp 12.000 per hari," tambah dia.
Dia menuturkan, dulu berjualan disini hanya membayar iuran Rp 12.000 per hari. Namun sejak ada istilah pedagang loksem bulan April kemarin iurannya malah naik menjadi Rp 20.000 per hari.
"Padahal lokasinya ya tetap disini, di Jalan Roa Malaka Selatan ini. Istilahnya saja yang beda. Sekarang pedagang loksem, mungkin dulu namanya pedagang diatas trotoar," canda dia.
Hal yang sama juga dikeluhkan Adang (45) seorang penjual nasi, sejak ada istilah pedagang loksem di Jalan Roa Malaka Selatan, dirinya harus membayar Rp 1.180.000 setiap bulan ke Bank DKI untuk tiga loksem yang ditempatinya.
"Setiap bulan saya setor Rp 1.180.000 ke Bank DKI untuk tiga loksem. Kadang istri saya yang bayar," jelas Adang.
Adang mengatakan, harga sewa untuk satu tenda dengan ukuran 2 x 1,5 meter di Jalan Roa Malaka Selatan ini terbilang sangat mahal. Sebab, tempat sekecil itu dihargai ratusan ribu per bulannya.
"Kali kan saja. Tiga tenda loksem yang saya tempati per bulan saya bayar sewa Rp 1.180.000. Berarti untuk satu tempat tenda loksem harga sewanya Rp 390.000 sekian per bulan," keluh Adang.
[wah]
BERITA TERKAIT: