Sejak diluncurkan 2 Mei lalu, beasiswa ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dosen di perguruan tinggi.
Penyelenggaraan BUDI merupakan kolaborasi antara Ditjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kemristekdikti dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Tahun ini, kuota yang diberikan, baik untuk program S2 dengan S3 mencapai 2.300 beasiswa, terdiri atas 2.000 beasiswa dalam negeri dan 300 beasiswa luar negeri.
"Selain itu, kami juga menyediakan anggaran untuk mengundang 40 profesor kelas dunia ke Indonesia untuk membantu meningkatkan kualitas SDM pendidikan tinggi," ujar Dirjen SDID, Ali Ghufron Mukti dalam acara sosialisasi BUDI di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (2/6).
Acara sosialisasi BUDI kepada berbagai universitas bertujuan agar beasiswa dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para dosen. Saat ini, pendaftaran BUDI masih dibuka hingga 31 Juli bagi pendaftar kampus dalam negeri, dan hingga 4 Juni untuk pendaftar kampus luar negeri.
"Anggaran BUDI Rp250 miliar yang terbagi untuk beasiswa dan program mengundang profesor," ucapnya.
Sedangkan terkait program studi, Ghufron menuturkan, mengutamakan bidang-bidang prioritas pembangunan Indonesia. Kendati demikian, BUDI tidak menutup peluang bagi program studi lain, seperti sosial dan humaniora.
"Dengan skema baru dan kerja sama dengan LPDP ini diharapkan pelaksanaan BUDI tidak terkendala seperti tahun sebelumnya, seperti terlambat dana atau masalah administrasi yang sulit. Hal tersebut kemudian sering dikeluhkan mahasiswa," terangnya.
Program BUDI ini pun menuai tanggapan luar biasa, banyak peminat yang sudah mendaftar.
"Biasanya, yang mendaftar sedikit. Kali ini banyak sekali. Artinya, masyarakat tahu informasi ini dan berminat," beber Ghufron.
Konsekuensi dari banyaknya pendaftar adalah ketatnya persaingan dalam proses seleksi dan kualifikasi. Apalagi, saat ini pendaftaran masih dibuka sampai 31 Juli 2016.
"Yang mendaftar ke luar negeri sudah 1.723 orang. Tetapi kalau pendaftaran luar negeri hanya sampai 4 Juni," ucapnya.
Ghufron mengungkapkan, punya alasan tersendiri memisahkan beasiswa dosen dan non dosen. Menurut dia, dulu mendapatkan beasiswa cukup sulit. Namun, saat ini relatif lebih mudah, apalagi dengan adanya LPDP.
"Oleh karena itu, kami menggandeng LPDP. Karena meskipun dosen banyak yang pintar, tidak sedikit dosen yang gagal memperoleh beasiswa. Mereka kalah saing dengan fresh graduate yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, dipisahkan beasiswa dosen dan non dosen," ujarnya.
Direktur LPDP Eko Prasetyo menambahkan, BUDI merupakan terobosan dan keberanian, serta bukti koordinasi yang baik dari dua lembaga, yakni LPDP dan Kemristekdikti untuk melahirkan dosen-dosen unggul. Dia melihat, peran dosen sangat strategis, bahkan menjadi salah satu penentu dalam mencetak generasi bangsa.
"Masa depan Indonesia di generasi mendatang di antaranya ditentukan oleh kualitas pengajaran pada perguruan tinggi. Kami tak bisa lepas tangan, apalagi melihat potensi yang ada, termasuk bonus demografi," demikian Eko.
[wah]
BERITA TERKAIT: