ITUC pun menilai bahwa pemerintahan Jokowi saat ini tidak mampu mensejahterakan kaum buruh. Hal itu ditandai dengan banyaknya PHK serta hengkangnya sejumlah perusahaan multinasional dari Indonesia akibat rendahnya daya beli masyarakat.
"Saya sangat terkejut, melihat pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, menghilangkan pekerja dari diskusi pembahasan gaji yang layak," kata Sekretaris Jenderal ITUC, Sharan Burrow pada Kamis, (4/1).
Sharan menyampaikan, keadaan upah buruh di Indonesia saat ini tidak lebih besar dari daerah kecil di dataran China. Bahkan di daerah kecil di China lebih besar 100 dolar besaran upahnya dibanding di upah buruh di Indonesia.
"Ada suatu yang salah disini (kebijakan pemerintah Indonesia). Kita mendukung para buruh dan keluarganya untuk berjuang mendapat upah yang layak," ujarnya.
Ia menyoroti PP Nomor 78/2015 yang menghilangkan hak berunding kaum buruh dalam pembahasan upah. Menurutnya itu kebijakan ini harus segera dianulir, karena bertentangan dengan Undang-Undang. Lantaran itu ia menegaskan akan membantu perjuangan serikat buruh di Indonesia agar tetap dilibatkan dalam perundingan upah. Daya beli masyarakat saat ini sangat rendah yang secara otomatis mempengaruh pertumbuhan ekonomi.
"Kalau hak buruh untuk berunding dihilangkan, berarti ada sesuatu yang salah. Upah buruh rendah, akan menurunkan daya beli dan otomatis melambatkan pertumbuhan ekonomi. Kami akan mendukung perjuangan pekerja di Indonesia agar memperoleh kehidupan ekonomi yang stabil," pungkasnya.
[mel]
BERITA TERKAIT: