Hal ini diungkapkan pengamat lingkungan dari UI Ahmad SafÂrudin. Meski seÂbenarnya, upaya pemerintah pusat dan PemeÂrintah Provinsi (PemÂprov) DKI Jakarta mengaÂtasi masalah banÂjir di ibukota dengan membaÂngun tanggul laut raksasa ini disambut baik berbaÂgai pihak, dia menilai proyek ini tak layak.
Apalagi, mengingat persolan ini juga masih bermaÂsalah di MA, karena proses reklaÂmasi pantai utara ini ditolak oleh KeÂmenÂterian Lingkungan Hidup. Yakni, berdasarkan kasasi MahÂkamah Agung, pada 2003, dalam perkara tata usaha negara meÂngeÂnai KeÂputusan Menteri No.14/2003, yang mengatur ketidakÂlaÂyaÂkan reklamasi dan revitalisasi panÂtai utara Jakarta.
“Pembangunan tanggul laut raksasa ini diduga berkaitan deÂngan merevitalisasi ide reklaÂmaÂÂsi Pantura Jakarta yang diÂtolak. SeÂcara ringkas, reklamasi ini tiÂdak layak diberlakukan. Terlebih lagi tidak melibatkan masyaÂrakat,†jelasnya.
Menurut Ahmad, jika Pemprov DKI beritikad baik mengatasi masalah banjir di Jakarta, sehaÂrusnya studi pembangunan tangÂgul laut raksasa melibatkan masÂyarakat banyak. Termasuk maÂsyarakat di kawasan pantura, seÂhingga tercipta kesepakatan berÂsama. Apalagi, jika pemÂbaÂnguÂnan tanggul laut raksaÂsa terus berjalan, tentunya kaÂwaÂsan PenÂjaringan, Tegal Alur, KaÂpuk MuaÂra, Muara Angke samÂpai ke Cilincing akan terabaikan.
“Mungkin reklamasi ini menÂjadikan Jakarta sebagai kawasan yang modern, tapi kawasan penÂjaringan dan sekitarnya pasti amat sangat kumuh dan akan diÂbiarkan dengan kondisi tergeÂnang air, seperti kasus Pantai Indah Kapuk,†ujar Ahmad.
Selain itu, masih menurut AhÂmad, dampak lain pembangunan tanggul raksasa ini adalah terguÂsurnya para nelayan di sekitar panÂtura. Dia berharap agar PemÂprov DKI melakukan kesepakaÂtan bersama terlebih dahulu deÂngan para nelayan. Jika memang nelayan harus digusur, pemprov dia nilai harus merelokasikan ke tempat yang layak. “Kalau direÂloÂkasi ke kawasan pedalaman, sama saja dengan membunuh neÂlaÂyan tersebut,†tegasnya.
Di samping itu, menurut AhÂmad lagi, pembiayaan relokasi nelaÂyan harus diatasi dengan pembiaÂyaan yang berasal dari proyek pembangunan tanggul laut rakÂsasa tersebut. Bukan berÂasal dari APBD. Ini meruÂpakan kewajiban pemprov ketika meÂngembangkan sebuah proyek yang berdampak terhadap lingÂkungan sekitarnya.
Ahmad menilai, pembangunan proyek tanggul laut raksasa diÂanggap layak bila mampu memÂbiayai berbagai dampak akibat proyek bendungan dan reklamasi tersebut. Sebaliknya, kalau tidak mampu, berarti tidak layak, seÂhingga juga tak layak diteruskan.
Hal yang sama diungkap peÂneliti Indonesian Center for EnÂviromental Law Irvan Pulungan. Menurutnya, pantai Utara saat ini reklamasinya sedang bermasalah di Mahkamah Agung. Dengan demikian, pembangunan tanggul raksasa tidak mungkin dilakukan.
Sementara analisis mengenai damÂpak lingkungan (Amdal) rekÂlamasi pantura dinyatakan tidak layak oleh Surat Keputusan KeÂmenterian Lingkungan Hidup. “Ini yang katanya opsi paling mungÂkin dilakukan pemprov, baÂgaimana bisa diintegrasikan deÂngan reklamasi yang bersengÂketa di pengadilan?†cetusnya.
Irvan menilai, pemprov sehaÂrusnya memahami bagaimana dampak yang terjadi pada ekoÂsisÂtem di pantai Jakarta Utara. “PeÂlajaran yang kami ambil di SiÂngapura, reklamasi bisa memaÂtikan ekosistem bakau dan secara tidak langsung akan merugikan nelayan,†ujarnya.
Permasalahan banjir rob dan penurunan muka tanah diniliai Irvan, sebagai akibat logis rekÂlamasi tanggul rakasasa tersebut. Pasalnya, dampak pembangunan tanggul raksasa ini akan berkeÂpanjangan. Apalagi belum ada Kajian Lingkungan Hidup StraÂtegis (KLHS) yang diterapkan pada proyek ini. Yang terpenting, dia menegaskan, adalah analisis dampak dari proyek pembanguÂnan ini, apakah bermanfaat atau lebih menghancurkan.
Di samping itu, menurutnya lagi, perlu diperhatikan bentuk pembangunan tanggul raksasa yang bukan hanya sekadar memÂbendung kota Jakarta, efektivitas pembangunan tanggul raksasa dinilai Irvan belum 100 persen mampu mengatasi masalah banjir di Jakarta.
[RM]
BERITA TERKAIT: