Pembahasan RKUHP yang digelar KPK bersama sejumlah LSM dilaksanakan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis, 31 Juli 2025.
LSM yang hadir di antaranya, Gerakan Anti-Korupsi (GAK) yang diwakili Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Laksmana Bonaprapta, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Memanggil (IM57+) Institute, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Muhammadiyah, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Selanjutnya, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako), Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Transparency International Indonesia (TII), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Ketua KPK, Setyo Budiyanto mengatakan, diskusi tersebut berlangsung selama 4 jam. KPK mendengarkan masukan dari sejumlah LSM terkait implikasi RKUHAP terhadap kerja-kerja pemberantasan korupsi.
"Kegiatannya adalah membahas tentang isu-isu terkait RUU Hukum Acara Pidana. Dalam kegiatan diskusi tersebut, masukan, kemudian koreksi terhadap apa yang sudah dilakukan oleh KPK. Kemudian diawali dengan kajian terhadap yang sudah dikerjakan. Ada 17 poin itu. Kemudian direspons oleh beliau-beliau," kata Setyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 31 Juli 2025.
Ia berharap, pembahasan RKUHAP bisa dilakukan secara transparan dengan mendengarkan dan mengakomodasi masukan sejumlah pihak.
"Sehingga apa yang mungkin ada kekhawatiran-kekhawatiran dari beberapa pihak itu kemudian ini bisa diminimalisir," pungkas Setyo.
Mewakili akademisi, Direktur Pusako Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan, muatan yang ada dalam RKUHAP saat ini mengancam kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Selain 17 poin permasalahan yang menjadi kajian dari KPK, Charles mengungkapkan dalam diskusi tersebut juga disampaikan catatan kritis temuan LSM.
"Kita juga dari masyarakat sipil, banyak lembaga yang hadir dari berbagai kampus tadi, baik secara daring maupun secara luring, mencatat juga beberapa hal terkait dengan pelemahan-pelemahan itu, dan kita enggak mau pemerintah hari ini kemudian tidak punya komitmen untuk itu," kata Charles.
Ia meminta pembentuk UU yakni DPR dan pemerintah tidak mengabaikan kekhususan atau lex specialis dari kerja-kerja pemberantasan korupsi.
"Kita melihat ada norma yang kemudian cukup mengancam yaitu Pasal 329 yang kemudian mengatakan bahwa UU lain itu berlaku sepanjang tidak bertentangan UU ini. Bagi kita itu jelas bertentangan dengan prinsip lex specialis yang ada di dalam UU KPK sendiri," terang Charles.
Untuk itu, Charles menuntut komitmen DPR dan pemerintah untuk mengadopsi keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan tafsir tentang beberapa ketentuan yang mengkhususkan hukum acara ataupun juga kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK.
"Makanya, kemudian kita ingin memberikan pesan bahwa mari kita kembali lagi ke khitah pemberantasan korupsi yang sudah kita canangkan bersama dengan tetap mempertahankan kekhususan-kekhususan yang dimiliki oleh KPK. Karena kalau nggak, ya percuma saja kita punya KPK yang kemudian hari ini dalam Rancangan KUHAP menurut kita itu tidak memperkuat, justru memperlemah keberadaan dari KPK," pungkas Charles.
Sementara itu mewakili LSM, Peneliti TII, Sahel Al Habsyi mengatakan bahwa muatan RKUHAP saat ini mengebiri kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Sahel mencontohkan ketentuan yang ambigu tentang keberlakuan lex specialis yang ada di Pasal 329-330. Walaupun pembentuk UU menjelaskan bahwa juga ada Pasal 3 ayat 2 di RKUHAP yang mengatakan ketentuan dalam UU lain dapat berlaku kata Sahel, tetapi hal tersebut dibantah sendiri di dalam Pasal 329-330.
"Jadi, bagi kami masih ada waktu. Tidak perlu tergesa-gesa untuk mengesahkan dan mengundangkan KUHAP ini," pungkas Sahel.
BERITA TERKAIT: