Hal itu merupakan tanggapan tim JPU KPK atas eksepsi atau nota keberatan terdakwa Hasto dan tim penasihat hukum dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 27 Maret 2025.
Dalam eksepsi, terdakwa Hasto dan tim PH berdalih bahwa dalam penanganan perkara yang dihadapi Hasto karena adanya motif politik dan unsur balas dendam sehingga untuk membungkamnya digunakan instrumen hukum.
"Terkait dengan alasan keberatan tersebut, penuntut umum berpendapat materi yang disampaikan penasihat hukum dan terdakwa tentang hal tersebut di atas adalah tidak benar dan tidak relevan dengan alasan yang diperkenankan untuk mengajukan keberatan/eksepsi," kata tim JPU KPK.
Menurut tim JPU, apa yang disampaikan Hasto dan PH dalam persidangan pada Jumat, 21 Maret 2025 merupakan pendapat PH dan Hasto sendiri yang berkesimpulan atas kasus yang menimpa Hasto lebih banyak aspek politik dengan menggunakan hukum sebagai alat pembenar yang mengarah pada terjadinya kriminalisasi hukum sebagai akibat tindakan kritis Hasto dengan mencari-cari kesalahan pada diri Hasto.
"Melihat pendapat dari terdakwa tersebut, penuntut umum ingin menegaskan bahwa perkara terdakwa ini adalah murni penegakan hukum dengan berdasarkan pada kecukupan alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP," tegas JPU KPK.
JPU KPK juga merespon terkait tuduhan Hasto dan PH terkait penyimpangan dalam proses penyidikan dan penuntutan, seperti terjadinya proses daur ulang terhadap perkara suap yang sudah disidangkan dan telah berkekuatan hukum tetap, dan lainnya.
"Bahwa atas keberatan tersebut, kami penuntut umum berpendapat bahwa penasihat hukum dan terdakwa telah salah dalam memahami apa itu materi eksepsi/keberatan. Bahwa materi yang disampaikan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tersebut sejatinya adalah obyek dalam ranah kewenangan praperadian sebagaimana sudah diatur tersendiri dalam Pasal 77 KUHAP Jo Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 21/PUU-XII/2014 yaitu terkait dengan Praperadilan, sehingga sangatlah keliru jika dalil tersebut dimasukkan dalam materi eksepsi," terang JPU KPK.
Sehingga, JPU menyatakan tidak akan menanggapi keberatan dimaksud karena keberatan tersebut sudah tidak relevan dan jauh menyimpang serta tidak masuk dalam ruang lingkup eksepsi sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 156 Ayat 1 KUHAP.
"Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalih penasihat hukum dan terdakwa tersebut di atas tidak termasuk ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur Pasal 156 Ayat 1 KUHAP. Dengan demikian, segala dalih tersebut di atas harus ditolak," tutur JPU KPK.
Kemudian, JPU KPK juga menanggapi atas eksepsi Hasto dan PH yang menyatakan bahwa dakwaan disusun berdasarkan opini dan asumsi JPU serta tidak didasarkan berkas perkara secara utuh.
"Terhadap keberatan tersebut, penuntut umum tidak sependapat karena keberatan tersebut hanya sebatas pendapat atau kesimpulan dari penasihat hukum sendiri. Apa yang penasihat hukum dan terdakwa dalihkan dalam eksepsinya tidak lebih dari kalimat-kalimat membantah fakta-fakta yang disajikan dalam surat dakwaan, bahwa fakta tersebut tidak benar, tidak cukup bukti, asumsi atau opini," jelas JPU.
"Barangkali penasihat hukum lupa bahwa alat bukti tidak hanya keterangan saksi yang bersumber dari Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana termuat dalam berkas perkara, namun ada alat bukti lain sebagaimana Pasal 184 Ayat 1 KUHAP dan Pasal 26 A UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001," sambung JPU.
Karena kata JPU, untuk menentukan apakah surat dakwaan JPU tidak didasarkan pada BAP maupun alat-alat bukti lain yang tercantum dalam berkas perkara masih perlu diuji kebenarannya dalam pemeriksaan di persidangan, untuk itu pembuktian dimaksud sudah memasuki pemeriksaan pokok perkara yang bukan merupakan alasan keberatan/eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP.
"Berdasarkan uraian tersebut, alasan keberatan dan dalih penasihat hukum dan terdakwa tersebut haruslah ditolak," tegas JPU.
BERITA TERKAIT: