Masalah penggunaan kewenangan calon petahana juga masuk dalam perkara di Mahkamah Konstitusi (MK), salah satunya datang dari gugatan yang dilayangkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Ahmad Ali-Abdul Karim (Beramal).
Pada tuntutan tersebut, pasangan calon nomor urut 2 Anwar-Reny A. Lamadjido dan pasangan calon nomor urut 3 Rusdy Mastura-Sulaiman Agusto melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Mereka disebut melakukan pergantian 127 pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Pejabat-pejabat tersebut kemudian dilantik keesokan harinya.
Meninjau hal itu, keterangan ahli dibutuhkan salah satunya datang dari pakar hukum dan politik Titi Anggraini, dalam paparannya berjudul “Mengurai Konsep Petahana dalam Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016”..
Titi menerangkan bahwa Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 mengatur bahwa “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri”.
Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut memberi penjabaran luas, sebagai implikasi atau konsekuensi hukum atas pelanggaran pasal tersebut.
“Pasal 71 ayat (5) UU 10/2016 mengatur “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota,” tulis paparan Titi dikutip
RMOL, Selasa, 21 Januari 2025.
Dalam penegasan paparan tersebut, Titi menegaskan bahwa dalam Pasal 71 UU 10/2016, maka dalam hal seorang wakil kepala daerah berstatus sebagai calon dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik untuk jabatan pada tingkatan yang sama, tingkatan berbeda, wilayah yang sama, ataupun wilayah yang berbeda, yang bersangkutan adalah berstatus petahana serta mutlak terikat dan tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 71 UU 10/2016. Termasuk di dalamnya, tindakan faktual yang memenuhi unsur dalam Pasal 71 UU 10/2016.
Penegasan lain datang dari keterangan ahli lainnya, yakni guru besar sekaligus mantan Ketua DKPP, Prof. Muhammad. Dalam sidik kepakarannya bahwa kedudukan Petahana yang dimaksud dalam pasal 71 ayat (2) UU 10 tahun 2016, Petahana adalah bahwa pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan wakil Walikota berada dalam periode yang sama ketika menjalan jabatan dimaksud. sehingga keputusan orang perorang baik sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, serta walikota atau Wakil Walikota adalah dikategorikan sebagai keputusan Petahana.
“Sehingga dengan fakta ini, seharusnya Bawaslu Sulawesi Tengah merekomendasi kepada KPU Sulawesi Tengah untuk mendiskualifikasi Petahana atas nama Hi. Rusdy Mastura sebagai Calon Gubernur pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah tahun 2024,” tegas Muhammad dalam draft naskah akademiknya.
Ia juga menekankan hal yang sama terhadap pelanggaran yang sama terhadap ketentuan pada pasal 71 ayat (2) UU 10 tahun 2016.Penggantian Pejabat oleh Walikota Palu Petahana yang terdapat kemiripan dengan tindakan dan/atau peristiwa yang dilakukan oleh Petahana Gubernur Sulawesi Tengah. Bahwa Walikota Palu merupakan calon Walikota Petahana dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Palu tahun 2024. Sedangkan Wakil walikota Palu Petahana, bernama Reny A Lamadjodo,mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Gubernur dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah tahun 2024 bersama dengan Calon Gubernur bernama Anwar yang mendapatkan nomor urut 2.
“Bawaslu Kota Palu atau Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah seharusnya menyampaikan rekomendasi kepada KPU Kota Palu atau KPU Sulawesi Tengah untuk mendiskualifikasi Reny A Lamadjodo sebagai Calon Wakil Gubernur Sulawesi Tengah karena yang bersangkutan sebagai Petahana Wakil Walikota Palu telah nyata melakukan pelanggaran ketentuan pasal 71 ayat (2) UU nomor 10 tahun 2016,” pesan Muhammad.
Kuasa hukum pasangan calon Ahmad Ali-Abdul Karim, Andi Syafraini, menyoroti substansi pelanggaran yang dilakukan. Menurutnya, Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada hanya mengatur larangan mutasi pejabat, namun dalam kasus ini, petahana Gubernur tidak hanya melakukan mutasi, tetapi juga promosi dan pengukuhan jabatan.
Total pejabat yang terkena kebijakan tersebut berjumlah 389 orang, terdiri dari 125 pejabat administrator dan 64 pejabat pengawas. Selain di tingkat provinsi, dugaan pelanggaran serupa juga terjadi di Kota Palu. Petahana Wakil Wali Kota Palu, yang merupakan calon nomor urut 2, diduga melakukan upaya pembatalan pelantikan pejabat, yang kemudian diikuti dengan pelantikan ulang.
"Tindakan ini dilakukan tanpa izin. Karena mengetahui bahwa tidak ada izin dan hal tersebut dilarang, petahana Gubernur akhirnya membatalkan surat keputusan (SK) tersebut dan baru mengajukan izin kepada Menteri Dalam Negeri. Izin tersebut baru keluar pada 26 April 2024, dengan selisih waktu hampir satu bulan. Kami juga telah melaporkan hal ini ke Bawaslu, namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti," jelas Andi.
BERITA TERKAIT: