"Harus didalami KY seperti perkara (vonis bebas Ronald Tannur) di PN Surabaya yang ternyata hasil suap," kata Ketua Umum Barisan Advokat Bersatu, Herwanto Nurmansyah kepada media, Rabu malam, 6 November 2024.
Menurutnya, potensi suap pada kasus pemalsuan dengan terdakwa Yansen (66) dan Meliana Jusman (66) yang disidangkan di PN Medan rentan terjadi. Sebab kasusnya tergolong besar karena terkait uang lebih dari setengah triliun rupiah, sama seperti vonis bebas Ronald Tannur yang merupakan anak pengusaha besar.
"Artinya, mengawal perkara itu ya harus dari upaya pencegahan. Harapannya perkara-perkara seperti ini bisa dicegah sejak awal untuk menghindari putusan yang multitafsir," sambungnya.
Tidak hanya KY, dia juga meminta onslag PN Medan mendapat perhatian dari komisi hukum DPR. Dia berharap komisi hukum DPR bergerak seperti saat pertama kali merespons vonis bebas Ronald Tannur.
"Sudah dibuktikan di perkara PN Surabaya (Ronald Tannur) ternyata ada oknum hakim yang bermain suap. Artinya, kita belajar dari pengalaman, bisa jadi perkara yang di Medan sama seperti perkara yang di Surabaya (karena suap)," lanjutnya.
Dihubungi terpisah, desakan serupa disuarakan praktisi hukum Edi Hardum. Dia menilai onslag yang diketuk palu Majelis Hakim PN Medan terhadap suami istri yang melakukan pemalsuan tanda tangan CV Pelita Indah, Yansen dan Meliana Jusman, tidak masuk akal.
Apalagi, vonis dijatuhkan Majelis PN Medan dengan alasan perkara bukan pidana tetapi perdata.
"Ini tidak masuk akal. Itu kan kasus pemalsuan surat ada pada Pasal 263 KUHP. Itu jelas ranah pidana," jelas Edi.
Atas dasar itu, Edi menduga putusan onslag dalam kasus pemalsuan tanda tangan Direktur CV Pelita Indah atas nama Hok Kim ini terjadi karena ada dugaan suap.
"Saya menduga, hakim yang melakukan putusan onslag itu sama dengan hakim yang putusan bebas di Surabaya. Patut diduga ada permainan, bisa sogok atau yang lain. Oleh karena itu saya meminta KY memeriksa ini," tandasnya.
BERITA TERKAIT: