Pandangan tersebut disampaikan pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad saat mengikuti jalannya sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (15/12).
Prof Suparji sendiri sudah hadir sebagai saksi ahli pada sidang praperadilan pada Kamis malam (14/12).
"Semalam saya sebagai ahli dihadirkan dalam rangka meyakinkan hakim bahwa permohonan Pak Firli untuk membatalkan penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya bisa dikabulkan," kata Suparji di PN Jakarta Selatan, Jumat sore (15/12).
Suparji meyakini, peluang penetapan tersangka Firli oleh Polda Metro Jaya bisa dibatalkan oleh Hakim Tunggal Imelda Herawati melalui praperadilan.
"(bisa dibatalkan) mengingat alat bukti tidak ada, hanya jumlahnya saja tapi tidak mendukung kebenaran materiilnya. Maka peluang pembatalan penetapan tersangka sangat besar melalui mekanisme praperadilan ini," tegas Suparji.
Bukan tanpa alasan, Suparji memantau sepanjang persidangan bukti-bukti yang dimiliki Polda Metro tidak kuat dalam menetapkan Firli sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan, penerimaan gratifikasi, penerimaan hadiah/janji oleh penyelenggara negara/pegawai negeri terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian (Kementan).
Secara faktual, Polda Metro Jaya telah menetapkan Firli sebagai tersangka dengan menggunakan 4 alat bukti, yakni surat, saksi, ahli, dan petunjuk. Kemudian secara kuantitatif, sudah terpenuhi untuk menetapkan Firli sebagai tersangka. Akan tetapi, kata Suparji, secara kualitatif tidak terpenuhi.
Mengingat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21/PUU-XII/2014, alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tidak saja memenuhi unsur kuantitatif, tetapi juga unsur kualitatif.
"Artinya, kalau memang menggunakan alat bukti berupa surat, surat tersebut harus relevan dengan sangkaan, apakah Pasal 12e, Pasal 12B, atau Pasal 11. Surat itu membuktikan misalnya ada transfer uang, ada pengiriman uang, ada bukti penerimaan dan sebagainya," terang Suparji.
Sementara bukti yang digunakan Polda Metro hanya berupa foto, resi penukaran valas yang tidak bisa membuktikan secara materiil terjadinya pemerasan, penyuapan, atau gratifikasi.
"Kalau yang kedua, menggunakan saksi untuk alat bukti, saksi tadi harus betul-betul melihat, mengalami, dan mendengar secara langsung adanya pemerasan, penyuapan, gratifikasi. Demikian pula menggunakan ahli memang kompeten dalam menerangkan 3 sangkaan itu," tutur Suparji.
Sejauh ini, alat bukti yang dimiliki Polda Metro Jaya tidak secara kualitatif. Untuk itu, tidak memenuhi unsur pembuktian sesuai dengan Putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014.
"Oleh karenanya, mengingat bahwa alat bukti yang dipakai hanya memenuhi unsur kuantitatif, tidak memenuhi unsur kualitatif sebagaimana disyaratkan putusan MK tadi itu, maka mestinya penetapan tersangka ini dibatalkan," tandasnya.
BERITA TERKAIT: