PMA tersebut dinilai memberi peluang terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Atas dasar itu, muncul gagasan di publik yang menyebut jika Kemenag perlu mencabut kebijakan tersebut.
Terkait polemik (PMA) No 68/2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Pada Perguruan Tinggi Keagamaan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersikap kooperatif.
“Jadi intinya Kementerian Agama sangat terbuka menerima masukan-masukan karena ini masukan pencabutan ini tidak kalah dengan mereka yang meminta mempertahankan PMA No 68/2015,†ujar Lukman di gedung DPR, Jakarta, Senin (25/3).
Menurut Lukman, banyak kalangan yang ingin mempertahankan PMA itu lantaran banyak memberi manfaat.
Sementara pihak yang meminta PMA itu dicabut atau direvisi menganggap aturan itu menjadi celah masuk adanya praktik KKN bagi pemilihan rektor.
Menag Lukman menganggap pihak yang minta PMA ini direvisi kemungkinan karena kurangnya informasi mengenai substansi dari peraturan ini.
“Karenanya dalam waktu dekat kita akan membuka diskusi yang lebih luas melibatkan berbagai kalangan, pemangku kepentingan untuk melihat ini secara lebih objektif,†imbuhnya.
Ia menjelaskan, adanya PMA 68/2015 itu untuk menjawab kebutuhan 3 tahun lalu. Sementara perjalanan PMA selama 3 tahun ini secara objektif perlu masukan dari banyak pihak terkait plus minusnya.
“Ya nanti kita lihatlah dalam diskusi, dalam FGD yang kita selenggarakan lebih terbuka yang melibatkan banyak kalangan,†pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: