Menurut pengamat penerbangan Alvin Lie, dalam investigasi kali ini KNKT terlihat tidak teliti.
Dia memberikan contoh kekeliruan redaksional dalam hal penggunaan akronim CPL yang oleh KNKT disebut
Civil Pilot License.
“Sangat memalukan. Seharusnya
Commercial Pilot License,†ujar Alvin dalam pembicaraan dengan redaksi
Kantor Berita Politik RMOL.
“Jadi, pesawat tersebut laik terbang. Namun setelah terbang mengalami masalah yang tergolong
No Go item, sehingga menjadi tidak laik terbang dan seharusnya RTB (
Return to Base) atau mendarat di bandara terdekat,†katanya lagi.
Dia menambahkan, konon, dalam manual Boeing tidak mengharuskan RTB atau
divert to nearest airport.
Karena itu, KNKT perlu juga mendalami kondisi pilot yang membawa pesawat Lion Air PK-LQP dari Denpasar ke Cengkareng, pada malam sebelum kejadian naas dialami pesawat itu. Pilot inilah yang mengetahui kondisi terakhir PK-LQP sebelum digunakan lagi untuk terbang ke Pangkalpinang, Bangka, keesokan harinya, Senin pagi, 29 Oktober 2018.
“Pada hari itu yang bersangkutan (pilot dari Denpasar ke Cengkareng) sudah berapa jam bekerja? Dalam satu pekan terakhir sudah berapa jam (bekerja)? Kondisi psikologi pilot patut didalami,†ujarnya lagi.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia itu juga memperhatikan
Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 830, terkait temuan KNKT mengenai jumlah
flight attendant (FA) yang sedang bertugas.
Menurutnya, dugaan penyimpangan atau pelanggaran administratif yang tidak secara langsung berkaitan dengan sebab terjadinya kecelakaan akan lebih tepat diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU) Kementerian Perhubungan untuk ditindaklanjuti
“Ini terkait jumlah awak kabin yang tercatat lima orang, sedangkan di dalam pesawat ada enam orang,†demikian Alvin Lie.
[dem]
BERITA TERKAIT: