Nasib Caleg Bekas Napi Korupsi Masih Digantung

Sidang MA Tunggu Putusan MK

Selasa, 07 Agustus 2018, 10:07 WIB
Nasib Caleg Bekas Napi Korupsi Masih Digantung
Foto/Net
rmol news logo Nasib pencalonan para eks koruptor dalam Pileg 2019 masih digantung. Mahkamah Agung (MA) menunda sidang gugatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang larangan bekas narapidana kasus korupsi maju sebagai bakal calon legislatif (bacaleg).

 Juru bicara MA, Suhadi men­jelaskan, alasan MA menunda sidang larangan eks koruptor menjadi caleg lantaran harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas guga­tan Undang-Undang Pemilu, khususnya pasal mengatur am­bang batas pencalonan presi­den. Maklum saja, meskipun gugatan tak berkaitan langsung, tapi landasan PKPU adalah UU Pemilu.

"Seandainya undang-undang itu dibatalkan MK kan, jangan sampai produk di bawahnya ber­beda dengan itu," jelas Suhadi, di Jakarta, kemarin.

Dia mengatakan, pasca pu­tusan MK, hakim MA akan mengkaji kembali apakah guga­tan PKPU terkena dampak dari putusan MK atau tidak.

"Setelah itu baru diproses," imbuhnya.

Asal tahu saja, hingga saat ini, ada enam permohonan gugatan terhadap PKPU 20 Tahun 2018 tentang larangan eks napi kasus korupsi menjadi caleg pada Pemilu 2019. Gugatan-guatan itu antara lain dilayangkan M Taufik, Waode Nurhayati, dan Abdul Ghani.

Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan, hingga saat ini, MK belum menjadwalkan sidang am­bang batas pencalonan presiden atau atau presidential threshold (PT). Salah satu alasannya, kata dia, karena MK harus fokus lebih dulu dengan gugatan pemi­lihan kepala daerah (pilkada) serentak.

Kata Fajar, MK baru akan melakukan sidang uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden setelah sidang gugatan pilkada rampung atau ketika waktunya tidak berbenturan den­gan jadwal sidang lainnya.

"Untuk saat ini, belum ada tuh Mas. Salah satunya karena itu (pilkada). Yang jelas, sejauh ini belum ada," tegas Fajar saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, di Jakarta.

Diketahui, uji materi terkait ambang batas diajukan sejumlah akademisi, aktivis, pegiat pemi­lu. Gugatan ambang batas capres sebelumnya pernah diajukan Partai Idaman besutan Rhoma Irama, hingga pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Gugatan mereka sudah diputus dan ditolak MK.

Dalam ambang batas capres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa men­gusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.

Namun, karena Pilpres 2019 digelar serentak dengan pileg, maka ambang batas yang digunakan adalah hasil pileg 2014 lalu. Mengacu hal ini, maka parpol harus berkoalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres.

Sementara, Ahli Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Bivitri Susanti ber­harap, MK bisa secepatnya menyidangkan gugatan am­bang batas pencalonan presiden. Sebab jika gugatan presiden­tial threshold tak diperhatikan, sistem demokrasi di Tanah Air bisa kacau.

"Masalahnya adalah kalau logika dasar saja konstelasi poli­tik (hasil pemilu) 2014 dipakai buat 2019 tidak logis, karena konstelasi politik sangat berubah 5 tahun, ini berbahaya. Ini harus segera diputus MK ketimbang gugatan masa jabatan wapres, karena wapres cuma dampaknya ke Pak JK saja," ujarnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA