Mereka yakni mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin), Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Deputi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Taufik Mappaenre serta mantan Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Lukita Dinarsyah Tuwo.
Dalam kesaksiannya, Taufik menjelaskan bahwa BPPN tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
Hal tersebut lantaran BPPN tidak menemukan adanya unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
Atas dasar itu, sambung Taufik, BPPN akhirnya menerbitkan SKL kepada obligor BLBI.
"Saya tadi sudah jawab pertanyaan Penuntut Umum, dan saya rasa jawabannya sama seperti itu. Karena sudah diungkapkan tidak ada misrepresentasi, maka tidak ada klaim yang perlu diajukan BPPN kepada obligor," kata Taufik di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/7).
Dalam persidangan Jaksa KPK juga menyinggung mengenai perbedaan soal aset kredit petambak yang macet.
Menurut Taufik yang tahu informasi mana yang material atau tidak dalam menghitung nilai perusahaan PT Dipasena Citra Darmaja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT MW) adalah akuntan publik, Ernst & Young.
Taufik bahkan menyatakan, Sjamsul justru telah membayar hutang dalam bentuk aset yang nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan kewajiban hutang yang harus diselesaikan.
Pernyataan jaksa tersebut terkait masalah misrepresentasi atau irregularities terhadap aset petambak PT DCD sebagai aset pelunasan BLBI.
Misrepresentasi ini yang dijadikan alasan pokok dalam memperkarakan SAT dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.
Taufik juga mengemukakan keputusan KKSK saat dijabat Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli tidak ada kaitannya dengan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Tapi terkait hutang petambak yang ditangani Asset Management Kredit (AMK).
Taufik juga menjelaskan bahwa pemegang saham BDNI tidak pernah menggunakan tagihan terhadap petambak sebagai pembayaran berdasarkan MSAA. Tim Bantuan Hukum BPPN juga tidak pernah meminta menagih pemegang saham BDNI Rp4,8 triliun.
Terkait audit BPK 2006 yang menyatakan penerbitan SKL BDNI telah sesuai, Taufik menegaskan bahwa BDNI layak diberikan dan tidak perlu dipermasalahkan.
Taufik dalam kesaksiannya juga menjelaskan soal pertemuan pihak pemilik saham dan direksi BDNI dengan pihak BPPN pada bulan Oktober 2003.
Menurut Taufik pertemuan itu adalah pertemuan resmi atas permintaan Ernst & Young dalam rangka melakukan klarifikasi atas penjaminan hutang petambak oleh Dipasena dan Wachyuni.
Pernyataan Taufik terkiat pemberian aset yang nilainya jauh lebih tinggi oleh Sjamsul diperkuat Lukita yang membenarkan ada kelebihan pembayaran sebesar 1,3 juta dolar AS.
"Berdasarkan laporan FDD (Financial Due Diligence) Ernst & Young, hasilnya obligor membayarkan lebih nilainya 1,3 juta dolar AS," ungkap Lukita.
Sementara itu Dorodjatun mengungkapkan penyelesaian obligor BLBI dilakukan melalui kesepakatan MSAA.
"Itu adalah perjanjian perdata. Penyelesaiannya adalah
out of court settlement (penyelesaian damai di luar pengadilan)," ujar Dorodjatun.
Ia juga mengaku telah menyetujui usulan terdakwa untuk hapus buku porsi utang unsustainable petambak plasma sebesar Rp 2,8 triliun.
Utang itu bagian dari total surat utang BDNI Rp 4,8 triliun dari petani tambak yang dijamin PT DCD dan PT WM.
Menurut Dorodjatun, disetujuinya penghapusan utang tersebut lantaran usulannya telah dibawa ke Sidang Kabinet Terbatas pada 11 Februari 2014. Usulan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
[wid]
BERITA TERKAIT: