Berdasarkan pemantauan LBH Masyarakat sepanjang 2017, terdapat 215 insiden penembaÂkan dalam penegakan hukum narkotika. Dari 215 kasus terseÂbut, 116 orang luka-luka dan 99 orang meninggal dunia
Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, menekankan fenomena pembunuhan ekstra-yudisial merupakan sesuatu yang amat disorot dalam skala global. "Sejak Presiden Rodrigo Duterte menerapkan operasi Tok Hang di Filipina, puluhan ribu nyawa ribu nyawa telah melayang. Sementara Indonesia, meski belum sedemikian parah, sedang meniru pendekatan yang dilakuÂkan oleh Filipina," katanya.
Di Indonesia sendiri, tidak ada bulan tanpa insiden kemaÂtian dalam penegakan hukum narkotika. Angka paling rendah ada di November 2017 dengan 4 kematian dan paling tinggi ada pada Agustus dengan catatan 13 kematian.
Beberapa Polda dan BNNP memiliki catatan masif dalam persoalan kematian dalam penegakan hukum narkotika ini. Diantaranya, Sumatera Utara sebanyak 30 kematian, DKI Jakarta 22 kematian, Lampung 11 kematian, Jawa Timur 8 keÂmatian, dan Kalimantan Barat 7 kematian.
Menurut Ajeng, ada sejumlah alasan mengapa praktik tembak di tempat terkait kasus narkotika harus dihentikan. Pertama, temÂbak mati di tempat tidak menoÂlong situasi supply reduction atau pemotongan rantai pasokan narkotika di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terputusnya rantai informasi yang penting mengenai mafia peredaran gelap yang lebih besar.
Dari laporan BNN dari taÂhun ke tahun, angka kejahatan narkotika terus meningkat. "Ini menunjukkan ada masalah lain yang lebih mendasar yang tidak pernah disasar dan selesaikan," ujarnya. Selain itu, kebijakan tembak di tempat rawan menÂimbulkan insiden salah tembak.
Bahkan, hal itu juga berpotensi memancing pertempuran terbuka antara pemerintah dengan mafia peredaran gelap. Kondisi ini dapat menimbulkan dan mereÂproduksi lingkaran kekerasan, penderitaan dan dendam tanpa henti dari generasi ke generasi yang sulit untuk dipulihkan.
"Pada konteks ini, warga sipil yang tidak tahu apa-apa akan jadi pihak pertama yang jadi korban - semata karena ada di tempat dan waktu yang salah," imbuhnya.
Selain itu, tembak mati di tempat juga adalah pelanggaran HAM terang-terangan terutama untuk aspek hak untuk hidup dan hak atas peradilan yang jujur dan adil. Bagaimana pun kesalahan seseorang, dia harus dihadapkan dengan pengadilan agar ada ruang baginya untuk membela diri. Penegakan hukum dilakuÂkan oleh manusia dan manusia kerap keliru dalam memutuskan segala sesuatu.
"Tembak mati di tempat jelas adalah pengkhianatan terhadap konstitusi yang secara gamblang menegaskan bahwa Indonesia adaÂlah negara hukum," tegas Ajeng.
Negara hukum yang baik memiliki prosedur dalam penegakan hukum dan penegak hukumnya juga dengan baik mematuhi prosedur tersebut.
Sebelumnya, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Heru Winarko mengatakan akan melanjutkan program yang telah dilakukan pendahulunya, Budi Waseso atau Buwas. Diantaranya, menembak mati pengeÂdar atau bandar narkoba.
Menurut Heru, tindakan tegas tembak di tempat, akan dilakuÂkan jika pengedar atau tersangka melawan. Penembakan akan menjadi pilihan jika pelaku melakukan perlawanan dan membahayakan petugas. ***
BERITA TERKAIT: