Majelis Hakim diduga telah sengaja meloloskan dan mengabulkan permohonan yang diajukan Penggugat (PT AKT) dan memerintahkan Tergugat (Menteri ESDM) untuk menunda pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 3174 K/30/MEM/2017 tanggal 19 Oktober 2017 tentang pengakhiran Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah dan tetap memproses rekomendasi dan perizinan terkait operasional pertambangan PT AKT, selama pemeriksaan sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap.
Majelis Hakim diketuai oleh Roni Erry Saputra, SH, M.H. dan beranggotakan Oenoen Pratiwi, SH, MH dan Tri Cahaya Indra Permana, SH, MH dan Panitra Pengganti Sri Hartanto, SH., SH, MKn.
Ketua Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Bonyamin Saiman mengatakan menunda berlakunya SK diperbolehkan, namun yang tidak boleh adalah kalimat 'dan memerintahkan Kementerian ESDM tetap memproses rekomendasi dan perizinan terkait operasional pertambangan PT AKT, selama pemeriksaan dan sampai perkara ini berkekuatan hukum tetap'.
"Ini jelas melanggar prinsip hukum, hakimnya layak diadukan resmi kepada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung," tutur Bonyamin Saiman, Rabu (22/1).
Pada kesempatan terpisah dimintakan pendapatnya, Direktur Eksekutif Center Of Energy And Recources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengaku tidak habis pikir dengan sikap majelis hakim PTUN Jakarta atas putusan provisinya itu, terkesan aroma majelisnya sudah masuk angin akibat sudah kena kerokan.
"Hal itulah kesan yang dibaca oleh publik secara luas. Lucu dan aneh," katanya.
Lebih jauh Yusri menjelaskan letak keanehanya mengapa dari putusan tersebut Majelis Hakim hanya mempertimbangkan keberatan dan kerugian dari penggugat saja, akan tetapi sedikit pun tidak mempertimbangkan potensi kerugian negara jauh lebih besar dan luas yang dikemukakan tim hukum tergugat dari Kementerian ESDM.
Padahal menurut Yusri seharusnya Majelis Hakim lebih jeli membedah rekam jejak penggugat yang telah diuraikan sebagai dasar pertimbangan Menteri ESDM menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 3174 K/30/MEM/2017 yaitu pelanggaran pasal 30 angka1 dan pasal 25 dari PKP2B tersebut, mengatur bahwa perjanjian tidak dapat diserah terimakan atau dialihkan termasuk pembiayaan secara keseluruhan atau sebahagian tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Menteri ESDM, pelanggaran yang dilakukan penggugat adalah menanda tangani perjanjian sebagai Penjamin atas fasilitas Perbankan dari Standard Chartered Bank kepada PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk selaku pemegang saham PT AKT di bawah pimpinan Samin Tan.
Bahkan, dari informasi berbagai media nilai PKPU sudah mencapai Rp 25 triliun. Meskipun kemudian dalam putusan PKPU perjanjian penjaminan itu dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum, bukan berarti fakta bahwa penggugat telah menjaminkan itu menjadi tidak ada, justru telah membuktikan penjaminan yang melanggar isi PKP2B itu. Justru karena ada tetapi bertentangan dgn peraturan dan PKP2B lah maka dinyatakan dalam putusan PKPU sebagai tidak sah.
"Serasa menggelikan, Majelis Hakim PTUN tidak mengetahui bahwa yang dilarang adalah menjaminkan bukan akibat hukum penjaminan yang melanggar PKP2B itu," ujar Yusri.
Oleh sebab itu, dia sepakat dengan Bonyamin Saiman dari MAKI untuk bersama-sama melaporkan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang terkesan telah berpihak atau partial ke Komisi Yudisial dan Makamah Agung, dengan harapan Makamah Agung memerintahkan Ketua PTUN Jakarta merombak Majelis Hakim tersebut.
[rus]
BERITA TERKAIT: