Memperkuat Kerangka Diplomasi Biru Indonesia

Rabu, 24 Desember 2025, 23:36 WIB
Memperkuat Kerangka Diplomasi Biru Indonesia
Ilustrasi. (Foto: AI)
SEBAGAI negara kepulauan terbesar dengan 17.504 pulau dan wilayah laut seluas 6,4 juta km², Indonesia memiliki identitas geopolitik dan geoekonomi yang tertanam kuat sebagai maritime power in the making. Meskipun kontribusi sektor maritim terhadap Produk Domestik Bruto baru mencapai 7,92 persen pada tahun 2022, potensi ekonomi birunya diperkirakan melebihi USD 1,5 triliun per tahun, dengan target peningkatan kontribusi menjadi 15 persen dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025–2045. 

Di tengah kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah Menteri Sakti Wahyu Trenggono, yang mengedepankan kebijakan berbasis keberlanjutan, tekanan eksternal seperti praktik Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing oleh distant water fishing fleets, ketidakadilan alokasi stok ikan dalam Regional Fisheries Management Organizations, serta dinamika keamanan maritim di Alur Laut Kepulauan Indonesia memerlukan respons strategis. 

Naskah akademik ini berargumen bahwa meskipun Indonesia telah menunjukkan kemajuan progresif dalam diplomasi kelautan, termasuk peran aktif dalam perundingan Biodiversity Beyond National Jurisdiction yang diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2025, capaian-capaian tersebut belum terintegrasi dalam suatu kerangka konseptual Blue Diplomacy yang sistematis dan koheren. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kerangka konseptual yang dibangun di atas tiga pilar utama: Pengelolaan Biru (Blue Stewardship), Pangan Biru (Blue Food), dan Pendanaan Biru (Blue Financing), yang berfungsi sebagai siklus kebijakan berkelanjutan untuk mentransformasi tantangan global menjadi kepemimpinan regional dan kemitraan strategis.

Konteks Geostrategis dan Imperatif Ekonomi Biru Indonesia

Konfigurasi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau yang dihubungkan oleh wilayah laut seluas sekitar 6,4 juta kilometer persegi, tidak hanya mendefinisikan identitas nasional tetapi juga menetapkan mandat geopolitik dan geoekonomi yang tak terelakkan. Laut bukan sekadar pemisah pulau, melainkan menjadi ruang hidup, sumber pangan utama, jalur perdagangan global, dan fondasi peradaban bagi populasi yang mencapai 281,6 juta jiwa. Namun, kontribusi nyata sektor kelautan terhadap perekonomian nasional masih jauh dari potensi maksimalnya, di mana pada tahun 2022 kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto tercatat sebesar 7,92 persen, sebuah angka yang mencerminkan adanya disrupsi antara potensi alamiah dan realisasi ekonomi. 

Visi untuk mengubah paradigma ini tertuang secara ambisius dalam dokumen perencanaan nasional, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025–2045, yang menargetkan peningkatan kontribusi sektor maritim menjadi 15 persen, sebuah lompatan strategis yang hanya dapat dicapai melalui transformasi kebijakan dan pendekatan pembangunan yang berpusat pada konsep ekonomi biru. 

Di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menginisiasi sejumlah terobosan kebijakan yang berusaha menyeimbangkan kepentingan ekologi dan ekonomi, seperti perluasan kawasan konservasi laut, penerapan sistem penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya berkelanjutan, serta penguatan pengawasan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Akan tetapi, efektivitas kebijakan domestik yang progresif ini semakin diuji oleh lingkungan eksternal yang dinamis dan penuh tekanan, sehingga memunculkan kebutuhan mendesak akan sebuah instrumen strategis yang mampu menjembatani pembangunan domestik dengan dinamika global, yang dalam konteks ini dimanifestasikan sebagai Diplomasi Biru atau Blue Diplomacy.

Diplomasi Biru muncul sebagai sebuah paradigma kebijakan luar negeri kontemporer yang secara khusus dirancang untuk mengelola interdependensi dalam tata kelola laut global. Konsep ini melampaui diplomasi tradisional yang berfokus pada negosiasi batas maritim atau akses perikanan, dengan memasukkan dimensi keberlanjutan ekologi, keamanan pangan, pembiayaan inovatif, dan keadilan iklim ke dalam agenda hubungan internasional. Dalam konteks Indonesia, urgensi untuk merumuskan dan mengimplementasikan Blue Diplomacy yang kuat bersifat multidimensional. 

Pertama, lokasi strategis Indonesia di jantung Indo-Pasifik telah menempatkannya pada episentrum persaingan geopolitik dan geoekonomi antar kekuatan besar, yang manifestasinya terlihat dalam isu-isu operasional seperti klaim hak lintas damai, kebebasan navigasi militer, aktivitas coast guard asing di perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif, serta penggunaan Alur Laut Kepulauan Indonesia oleh kapal perang asing sebagai bagian dari show of force. 

Kedua, ancaman terhadap kesehatan ekosistem laut, seperti pencemaran sampah plastik lintas batas, praktik penangkapan ikan berlebih (overfishing), dan pemanasan suhu laut, merupakan masalah transnasional yang mustahil diatasi oleh satu negara saja, sehingga memerlukan kepemimpinan dan diplomasi berbasis ilmu pengetahuan yang kuat dari Indonesia. Ketiga, lompatan teknologi kelautan, mulai dari eksplorasi Marine Genetic Resources hingga penambangan dasar laut dalam dan pemantauan via satelit, menciptakan lanskap kompetisi dan kerja sama baru yang menuntut posisi tawar Indonesia diperkuat dalam forum-forum internasional seperti perjanjian Biodiversity Beyond National Jurisdiction.

Fragmentasi Respons dan Tekanan Eksternal yang Kompleks

Meskipun Indonesia telah menunjukkan inisiatif dan keterlibatan yang semakin progresif dalam arena diplomasi kelautan global selama satu dekade terakhir, analisis mendalam mengungkap adanya fragmentasi dan kurangnya koherensi strategis di antara berbagai capaian tersebut. Kontribusi aktif Indonesia dalam perundingan kompleks Biodiversity Beyond National Jurisdiction yang kemudian diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2025 merupakan prestasi diplomasi hukum internasional yang patut diapresiasi, karena memperkuat kerangka perlindungan keanekaragaman hayati di wilayah laut di luar yurisdiksi nasional. 

Demikian pula, keterlibatan berkelanjutan dalam berbagai Regional Fisheries Management Organizations seperti Indian Ocean Tuna Commission dan Western and Central Pacific Fisheries Commission, serta upaya penanganan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing melalui pendekatan fisheries crime yang mengkategorikannya sebagai kejahatan transnasional terorganisir, menunjukkan kesadaran akan ancaman terhadap sumber daya. Kepemimpinan regional Indonesia dalam isu keamanan maritim di bawah payung ASEAN dan Indian Ocean Rim Association juga memperkuat profil Indonesia sebagai pemain kunci. 

Namun, inisiatif-inisiatif tersebut seringkali berjalan secara sektoral, terpisah-pisah, dan belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam suatu kerangka konseptual Blue Diplomacy Indonesia yang holistik, sistematis, dan memiliki roadmap yang jelas. Ketiadaan kerangka pemersatu ini menyebabkan potensi sinergi antar-bidang menjadi tidak tergali optimal, pesan diplomatik menjadi kurang terfokus, dan kapasitas untuk memanfaatkan satu pencapaian sebagai leverage untuk bidang lain menjadi terbatas.

Tekanan eksternal yang dihadapi sektor kelautan dan perikanan Indonesia bersifat struktural dan multidimensi, memerlukan respons yang terpadu dan didiplomasikan dengan cermat. Tekanan pertama dan paling krusial adalah praktik Illegal, Unreported and Unregulated Fishing yang dilakukan oleh armada distant water fishing dari negara-negara industri maju, yang beroperasi di laut lepas yang bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 

Praktik ini tidak hanya merugikan ekonomi nasional akibat pencurian sumber daya ikan, tetapi juga mengganggu ekosistem dan seringkali dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia di atas kapal. Tekanan kedua berasal dari tata kelola perikanan global yang dianggap timpang, di mana alokasi kuota tangkap untuk spesies ikan yang bermigrasi seperti tuna dalam berbagai Regional Fisheries Management Organizations seringkali lebih menguntungkan negara-negara maju dengan teknologi penangkapan canggih, sementara kepentingan negara berkembang penghasil seperti Indonesia kurang mendapat porsi yang adil. 

Ketidakseimbangan ini merupakan isu keadilan global yang memerlukan diplomasi teknis yang gigih. Tekanan ketiga adalah dinamika geopolitik yang memanfaatkan ruang laut sebagai panggung rivalitas, seperti meningkatnya intensitas pelayaran kapal perang asing melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia yang dapat berdampak pada kedaulatan dan keamanan, serta perubahan pola permintaan dan standar impor produk perikanan oleh negara mitra dagang utama yang dipengaruhi oleh isu keberlanjutan dan traceability. Tekanan keempat adalah ancaman kejahatan lintas batas di laut yang semakin terintegrasi, mulai dari penyelundupan narkotika dan manusia hingga pencurian sumber daya laut langka, yang memerlukan kerja sama penegakan hukum maritim yang erat. Fragmentasi respons diplomasi Indonesia terhadap keseluruhan tekanan yang saling terkait ini merupakan masalah sentral yang perlu diatasi melalui kerangka Blue Diplomacy yang terpadu.

Tiga Pilar Siklus Blue Diplomacy

Solusi terhadap fragmentasi strategis dan kompleksitas tantangan eksternal tersebut terletak pada pembangunan dan penerapan sebuah kerangka konseptual Blue Diplomacy Indonesia yang kokoh dan koheren. Kerangka konseptual ini dibangun di atas tiga pilar aksi strategis yang saling terkait dan membentuk suatu siklus kebijakan yang berkelanjutan, yaitu Pengelolaan Biru (Blue Stewardship), Pangan Biru (Blue Food), dan Pendanaan Biru (Blue Financing). 

Pilar pertama, Blue Stewardship, menekankan pada kedaulatan dan tanggung jawab Indonesia untuk mengelola ruang laut dan sumber dayanya secara berkelanjutan, yang merupakan mandat konstitusional berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pilar ini mencakup diplomasi untuk mendukung kebijakan domestik seperti perluasan kawasan konservasi laut menuju target 30 persen perairan nasional pada 2045, penegakan hukum terhadap IUU Fishing, serta promosi penataan ruang laut yang partisipatif di forum internasional. Keberhasilan dalam Blue Stewardship akan menciptakan dasar ekologis yang sehat bagi pilar kedua, Blue Food, yang berfokus pada pemenuhan ketahanan pangan nasional dan kontribusi terhadap ketahanan pangan global melalui sistem perikanan tangkap yang terukur dan akuakultur berkelanjutan. 

Diplomasi dalam pilar ini bertujuan untuk mengamankan akses pasar yang adil, mendorong alih teknologi budidaya, serta memperjuangkan alokasi kuota penangkapan yang berkeadilan di organisasi pengelolaan perikanan regional.

Pilar ketiga, Blue Financing, berperan sebagai enabler sekaligus outcome dari dua pilar sebelumnya. Pilar ini melibatkan diplomasi untuk menarik dan mengarahkan investasi, pembiayaan campuran (blended finance), pembiayaan inovatif (innovative finance), serta dana hibah internasional untuk mendukung proyek-proyek ekonomi biru, seperti pengembangan infrastruktur pelabuhan perikanan ramah lingkungan, riset bioteknologi kelautan, atau program restorasi terumbu karang. Pendanaan yang berhasil dikerahkan akan kembali memperkuat kapasitas Blue Stewardship dan Blue Food, sehingga menciptakan sebuah siklus virtous yang berkelanjutan. Kerangka tiga pilar ini mentransformasi laut dari sekadar objek ekstraksi ekonomi menjadi subjek pengelolaan kolektif, ekosistem yang harus dilindungi, dan ruang kerja sama global. 

Dengan pendekatan ini, Blue Diplomacy Indonesia tidak lagi reaktif terhadap tekanan eksternal, melainkan menjadi instrumen proaktif untuk membentuk agenda global, menggalang koalisi negara-negara kepulauan dan berkembang, serta menegaskan kepemimpinan Indonesia berdasarkan prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan keadilan. Integrasi ketiga pilar ini ke dalam seluruh aktivitas diplomasi kelautan, mulai dari perundingan bilateral, partisipasi dalam organisasi multilateral, hingga kerja sama teknikal, akan memberikan peta jalan yang jelas dan mengatasi masalah fragmentasi yang selama ini terjadi.

Rencana Aksi dan Prioritas Diplomasi Operasional

Untuk mengoperasionalkan kerangka konseptual tiga pilar tersebut ke dalam aksi diplomatik yang konkret dan terukur, diperlukan penetapan prioritas kebijakan luar negeri yang fokus dan implementatif bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya melalui peran sentral Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri. Prioritas pertama adalah memperkuat diplomasi untuk konservasi laut dan keanekaragaman hayati, dimana Indonesia harus aktif memobilisasi dukungan politik dan finansial internasional untuk mencapai target 30 persen kawasan konservasi laut, sekaligus memimpin isu Marine Protected Areas beyond national jurisdiction dalam implementasi perjanjian BBNJ. 

Prioritas kedua adalah mentransformasi diplomasi perikanan dari yang bersifat defensif menjadi ofensif, dengan mengoordinasikan posisi negosiasi yang kuat di berbagai Regional Fisheries Management Organizations untuk memperjuangkan alokasi kuota yang adil bagi nelayan Indonesia, serta mempromosikan sistem penangkapan ikan terukur berbasis kuota sebagai model pengelolaan berkelanjutan yang dapat diadopsi secara regional. Prioritas ketiga adalah menjadikan diplomasi akuakultur sebagai engine pertumbuhan baru, dengan menjalin kemitraan strategis dengan negara dan organisasi internasional untuk alih teknologi, peningkatan kapasitas pembenihan, serta penetapan standar sertifikasi berkelanjutan yang diakui global untuk produk udang, rumput laut, dan ikan budidaya Indonesia.

Prioritas keempat adalah mengintegrasikan isu keamanan maritim dan penegakan hukum ke dalam agenda diplomasi biru, dengan memperkuat kerja sama patroli bersama, pertukaran informasi intelijen maritim, dan capacity building untuk penanganan fisheries crime dan kejahatan transnasional lainnya di laut melalui forum seperti ASEAN dan IORA. Prioritas kelima adalah memimpin diplomasi penanganan polusi laut, khususnya sampah plastik, dengan menginisiasi dan menggalang komitmen negara-negara di Samudra Hindia dan Pasifik untuk skema pengurangan sampah dari sumbernya serta mekanisme pendanaan bersama untuk pembersihan. 

Setiap prioritas aksi ini harus didukung oleh instrumen diplomasi yang tepat, mulai dari diplomasi tingkat tinggi (summit diplomacy), diplomasi teknis di konferensi multilateral, diplomasi publik untuk membangun narasi positif, hingga diplomasi ekonomi untuk menarik investasi. Pelaksanaannya memerlukan koordinasi yang erat tidak hanya antar unit di dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi juga dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pertahanan, serta pemerintah daerah, untuk memastikan kesatuan pesan dan langkah dalam setiap forum internasional. Pembentukan sebuah gugus tugas atau sekretariat bersama yang khusus menangani koordinasi Blue Diplomacy dapat menjadi langkah institusional yang efektif.

Penutup

Sebagai negara yang takdirnya ditulis di atas gelombang, masa depan Indonesia sangat bergantung pada kemampuannya untuk mengelola ruang laut secara bijaksana dan memainkan peran strategis di panggung global. Potensi ekonomi biru yang diperkirakan mencapai lebih dari USD 1,5 triliun per tahun bukanlah janji kosong, melainkan sebuah kemungkinan nyata yang harus diwujudkan melalui tata kelola yang baik di dalam negeri dan diplomasi yang cerdas di luar negeri. 

Analisis komprehensif menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah memiliki fondasi kebijakan domestik yang kuat dan telah menunjukkan kemajuan dalam berbagai inisiatif diplomasi kelautan, tantangan utama terletak pada kurangnya kerangka konseptual yang terpadu dan koheren untuk menyatukan semua upaya tersebut menjadi sebuah kekuatan diplomasi yang fokus dan berdampak.

Oleh karena itu, penguatan Blue Diplomacy Indonesia melalui kerangka tiga pilar, Pengelolaan Biru, Pangan Biru, dan Pendanaan Biru, merupakan sebuah keharusan strategis. Kerangka ini tidak hanya menyediakan peta jalan untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan nasional, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai pemain utama yang mampu menawarkan solusi berbasis alam dan ilmu pengetahuan bagi tantangan global, seperti krisis iklim, ketahanan pangan, dan keamanan maritim. 

Implementasinya memerlukan komitmen politik yang tinggi, koordinasi institusional yang efektif, serta kolaborasi yang sinergis antar semua pemangku kepentingan. Dengan mengadopsi pendekatan Blue Diplomacy yang terstruktur dan proaktif, Indonesia tidak hanya akan mengamankan kepentingan nasionalnya tetapi juga dapat memimpin dalam membentuk tata kelola laut global yang lebih adil, berkelanjutan, dan damai untuk generasi mendatang. rmol news logo article


Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH 
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
 
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA