"Waduh. Kok bisa begini ya asuransi asing?" celetuk peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (3/11).
Menurut dia, masalah ini sebetulnya menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas mengawasi asuransi asing.
"Kalau sampai masalah semacam ini bisa sampai ke Bareskrim Polri, berarti OJK gagal dalam menjalankan tugas dan fungsinya," ujarnya.
Daeng menjelaskan, OJK merupakan lembaga super body, dengan kewenangan yang sangat luas dan powerfull. Yakni membuat regulasi, melakukan pengawasan, menjatuhkan sanksi dan memungut dana dari lembaga keuangan bank, non bank dan asuransi. Termasuk dalam hal ini, tugas OJK melindungi konsumen.
"Kalau masalah ini sampai ke tangan Bareskrim polri dan Polisi yang bekerja dalam urusan klaim mengklaim asuransi, untuk apa ada OJK? Serahkan saja urusan pengawasan asuransi dan perlindungan konsumen atas skandal asuransi ini pada polisi," kritiknya.
"Jangan asuransi asing terlalu dimanja hanya karena mereka menguasai 95 persen kegiatan asuransi nasional sekarang. OJK jangan memble," lanjutnya.
Lebih lanjut Salamuddin mengemukakan, belakangan ini banyak sekali skandal dalam sektor keuangan, bank, non bank serta asuransi yang mengakibatkan rakyat jadi korban.
"Sementara lembaga OJK dengan uang banyak dari APBN dan dari pungutan kepada nasabah, masih saja miskin prestasi dan tidak menunjukkan kinerja yang semestinya," tutupnya.
Awal perkara ini, ketika terbit Polis Asuransi Jiwa Manulife atas nama S.K Johny pada 30 Oktober 2014 dengan ketentuan pembayaran premi per tahun sebesar 27.664 dolar AS dan uang pertanggungan sebesar 500 ribu dolar AS. Hampir dua tahun berjalan, tepatnya Selasa 11 Oktober 2016, pemegang polis atas nama S.K Johny wafat.
Johan Solomon adalah kakak dari almarhum. Selaku ahli waris, pada 17 Oktober 2016, ia mendatangi Kantor PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia di Sampoerna Strategic Square, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, untuk mengurus kepentingan pengajuan klaim asuransi. Johan memenuhi seluruh persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Umum Polis Pasal 10 ayat 10.2, huruf a juncto UU 40/2014 tentang Perasuransian. Tapi ketika mengurus klaim, pihak Manulife meragukan kematian yang dianggap fiktif dan banyak tuduhan dari Manulife agar mempersulit pencairan klaim pertanggungjawaban itu.
Pada tanggal 21 Agustus 2017, Manulife secara resmi mengeluarkan surat yang intinya menolak seluruh klaim yang seharusnya menjadi hak ahli waris. Dalihnya, almarhum selaku pemegang polis telah memberikan keterangan yang tidak benar. Anehnya, pihak Manulife malah meminta Johan selaku ahli waris untuk menandatangani formulir pengembalian premi yang sudah dibayarkan oleh pemegang polis selama dua tahun.
[wid]
BERITA TERKAIT: