Diduga uang suap Rp240 juta yang diberikan kepada Rochmadi Saptogiri selaku Auditor Utama Keuangan Negara III BPK, dan Ali Sadli, selaku Kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara BPK, untuk menutupi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes pada 2015 dan Semester I 2016.
Tak tangung-tanggung dari pemeriksaan itu terdapat temuan dengan jumlah yang besar dan merupakan temuan berulang pada tahun 2015, mengenai pertanggungjawaban pembayaran honorarium dan bantuan operasional kepada tenaga pendamping profesional tahun 2016 sebesar Rp 550.467.601.225. Seharusnya, setelah adanya temuan tersebut, Kemendes PDTT tidak mendapat predikat WTP.
"Bahwa hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Kemendes TA 2015, menyatakan opini wajar dengan pengecualian (WDP)," ujar jaksa KPK Ali Fikri di Pengadilan Tipikor Jakarta, jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (16/8).
Awalnya, pada 18 Mei 2017, BPK melakukan sidang Badan atas laporan keuangan Kemendes tahun 2016. Dalam sidang yang dipimpin oleh Edy Mulyadi Soepardi, Rochmadi menentukan bahwa opini untuk Kemendes adalah WTP.
Padahal, berdasarkan surat tugas anggota III BPK RI nomor 110/ST/V/08/2016 tanggal 18 Agustus 2016, BPK melakukan Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan atas Realisasi Belanja Barang, Belanja Modal dan Belanja Bantuan Sosial tahun 2015 - Semester I 2016. Pemeriksaan itu dikenal sebagai pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Dari pemeriksaan itulah terdapat temuan dengan jumlah yang besar dan merupakan temuan berulang pada tahun 2015 yakni terkait pertanggungjawaban pembayaran honorarium dan bantuan operasional kepada tenaga pendamping profesional tahun 2016 sebesar Rp 550.467.601.225 yang diterbitkan pada 18 Januari 2017 dan ditandatangani oleh Rochmadi.
"Pihak Kemendes PDTT belum seluruhnya melaksanakan rekomendasi tersebut, sampai dilakukan pemeriksaan laporan keuangan Kemendes tahun 2016," kata jaksa.
Setelah mengetahui adanya temuan Rp550 miliar yang belum diselesaikan Kemendes PDTT tersebut, Sugito dan Jarot Budi Prabowo atas restu ‎Sekjen Kemendes PDTT, Anwar Sanusi pun memutar otak agar laporan keuangannya mendapatkan predikat WTP.
Ketiganya pun menyepakati untuk menghapus temuan BPK tersebut dengan menyuap Auditor BPK, Rochmadi Saptogiri serta Ali Sadli melalui Choirul Anam dengan kesepakatan harga suap senilai Rp240 Juta.
Dalam hal ini, uang sebesar Rp240 Juta tersebut merupakan hasil patungan dari sembilan unit kerja Kemendes PDTT. ‎Adapun pada pemberian pertama, telah diserahkan Rp200 juta yang merupakan patungan dari delapan unit kerja Kemendes PDTT.
Pemberian uang Rp200 Juta tersebut diserahkan Jarot Budi Prabowo atas perintah Sugito kepada Rochmadi Saptogiri melalui Ali Sadli, diruang kerjanya di lantai 4 kantor BPK, Jakarta.
Sedangkan, sisa uang Rp40 Juta merupakan dana patungan dari Ditjen Pembangunan Daerah Tertinggal sebesar Rp35 juta dan uang pribadi Jarot Budi Prabowo sebesar Rp5 juta. Namun demikian, uang Rp40 juta tersebut belum sempat diterima Rochmadi Saptogiri.
‎Pasalnya, pada penyerahan uang Rp40 juta tersebut, Jarot dan Ali Sadli keburu ditangkap tangan oleh tim satgas KPK. Sehingga, uang Rp40 juta tersebut menjadi alat bukti atas Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Atas perbuatannya, Sugito dan Jarot didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
BERITA TERKAIT: