Di tengah pro kontra Pansus, redaksi mendapat bukti fisik maupun soft copy surat permohonan perlindungan hukum atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan penyidik KPK.
Surat itu ditulis oleh Mahdiana, istri dari Djoko Susilo yang merupakan terpidana kasus pengadaan simulator kemudi roda dua dan roda empat di Korps Lalu Lintas Polri pada 2010 dan 2011, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) periode 2003-2010 dan 2010-2012.
Surat Mahdiana bertanggal 28 Februari 2013, ditujukan ke Abraham Samad, yang menjabat Ketua KPK saat itu. Perihalnya, "Permohonan Perlindungan Hukum atas Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Proses Penyidikan Sebagai Saksi Terkait Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang atas nama Tersangka Djoko Susilo".
Dalam surat itu, Mahdiana menceritakan awal perkaranya adalah kala ia dipanggil menghadap ke penyidik KPK, yaitu Muhibuddin dan Tim, pada tanggal 7 Februari 2013, untuk didengar keterangannya sebagai Saksi dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang yang disangkakan terhadap suaminya.
Pada tanggal 7 Februari 2013, ia mengirimkan Surat Permohonan Penundaan Pemeriksaan Sebagai Saksi kepada KPK, ditujukan kepada Endang Tarza selaku Plt. Direktur Penyidikan KPK, yang intinya memohon dan meminta maaf karena tidak dapat memenuhi panggilan tersebut karena alasan kesehatan dengan lampiran surat keterangan dokter.
Dia baru datang memenuhi undangan KPK untuk diperiksa penyidik KPK, Muhibuddin dan Tim, pada tanggal 14 Februari 2013. Pada akhir pemeriksaan, ia diminta datang kembali ke KPK untuk pemeriksaan lanjutan pada hari Kamis 21 Februari 2013.
Pada pemeriksaan 21 Februari itulah Mahdiana merasa hak asasinya begitu dilecehkan.
"Segala itikad baik dan niatan saya untuk menghormati hukum serta sikap kooperatif saya dengan KPK tersebut ternyata tidak mendapat balasan yang serupa dengan adanya beberapa hal yang saya alami pada saat saya diperiksa di KPK pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2013," tulis Mahdiana.
Ia diperiksa sebagai saksi sejak pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 22.30 WIB di Gedung KPK dan berlanjut sampai hari Jumat pukul 04.30 WIB pagi di apartemen tempat tinggalnya.
Pada saat diperiksa di Gedung KPK, ia dipaksa menghadapi banyak pertanyaan yang datang bertubi-tubi dari Tim Penyidik, baik Muhibuddin, Novel Baswedan dan penyidik lainnya. Hal tersebut ia alami kurang lebih 12 jam. Pemeriksaan kala itu ia rasakan berbeda dengan sebelumnya, di mana ia merasa diperiksa layaknya tersangka karena banyak sekali tekanan dan paksaan dari Tim Penyidik.
Karena banyak paksaan ditambah keadaannya yang sedang tidak sehat pada hari itu, ia memohon kepada Penyidik agar pemeriksaan dihentikan karena ia semakin merasa lemah dan tidak sehat. Namun, para penyidik tidak peduli. Padahal, saat itu ia merasa tangannya bergetar, kaki kesemutan seperti gejala stroke, dan kepalanya sangat pusing akibat tensi darah yang naik sangat tinggi. Mahdiana pun mengaku muntah dua kali.
"Bahkan sampai ada dokter di KPK yang mendatangi saya dan memeriksa kondisi badan/kesehatan saya. Sehubungan dengan hasil pemeriksaan dokter di KPK terhadap saya, dokter memberikan saya 3 jenis obat di mana salah satu dari obat tersebut dikatakan oleh dokter di KPK sebagai obat yang seharusnya dikonsumsi pada malam hari, namun terpaksa diberikan kepada saya untuk dikonsumsi pada siang hari," tulisnya.
"Terhadap obat yang diberikan oleh dokter di KPK tersebut, Penyidik meminta saya untuk menelan obat tersebut sambil terus mengawasi saya, sehingga saya akhirnya meminum obat tersebut di hadapan Penyidik dan Penyidik masih juga tidak berhenti mengawasi saya bahkan tetap melakukan pemeriksaan terhadap saya dalam kondisi saya yang sedang tidak baik," tambahnya.
Setelah dua kali mengkonsumsi obat tersebut selama pemeriksaan, ia mengaku tidak bisa berpikir secara normal seperti sebelumnya. Ia pun menyimpan obat yang diberikan oleh dokter KPK, dan berusaha mencari informasi mengenai obat tersebut.
"Setelah saya mencari tahu dan memeriksakan obat tersebut ke dokter, ternyata salah satu dari 3 jenis obat yang diberikan kepada saya oleh dokter di KPK mengandung diazepam 2 mg, oleh karena itu pantaslah saya merasa fly sehingga tidak mampu untuk berfikir secara normal lagi untuk dimintai keterangan oleh Penyidik," lanjut Mahdiana.
Mahdiana, dalam surat itu, meminta Pimpinan KPK dapat menempatkan pemeriksa atau penyidik yang tidak memiliki konflik kepentingan atau rasa dendam maupun rasa sakit hati dalam suatu kasus, khususnya terhadap perkara yang sedang diperiksa oleh KPK terkait dugaan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada suaminya.
"Saya memohon agar Bapak sebagai Pimpinan KPK dapat melakukan penggantian Tim Penyidik terkait hal tersebut di atas. Permohonan saya tersebut semata-mata karena saya yakin dan percaya bahwa cara-cara penyidikan yang telah saya alami adalah suatu ketidaklaziman yang dilakukan oleh KPK sehingga saya yakin Bapak sebagai Pimpinan KPK dapat memberikan keadilan kepada seluruh warga negara Indonesia dan khususnya kepada saya," tulisnya lagi.
Dari informasi yang redaksi dapatkan, surat tersebut sampai di tangan pimpinan KPK yang diketuai Abraham Samad. Tetapi, tidak diketahui pasti apakah pimpinan KPK mengganti penyidik yang menangani Mahdiana.
[ald]
BERITA TERKAIT: