Selain lemahnya pengawasan dan pemantauan, Pro Demokrasi (Prodem) melihat kondisi ini diperparah dengan tumpeng tindihnya berbagai aturan yang menjadi landasan hukum praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
"Masih segar dalam ingatan kita bahwa beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kemenristek DIKTI telah menonaktifkan sekitar 243 institusi pendidikan lokal mulai dari Provinsi Nagroe Aceh Darussalam hingga Provinsi Maluku," papar
Kabid Lembaga Peradilan Prodem, Agus Rihat P. Manalu melalui siaran pers, Jumat (9/6).
Institusi pendidikan tersebut meliputi politeknik, akademi, sekolah tinggi, hingga universitas. Jika suatu perguruan tinggi berstatus nonaktif maka dipastikan tidak boleh menerima mahasiswa baru, wisuda, tidak boleh memperoleh layanan Ditjen DIKTI dalam bentuk beasiswa, akreditasi, pengurusan NIDN, sertifikasi dosen, hibah penelitian, dan lain-lain.
Di satu sisi, ia menilai, apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah baik adanya. Ini artinya pemerintah benar-benar menjalankan fungsi pengawasan dan pemantauan dengan baik.
"Namun muncul sebuah pertanyaan, mengapa hanya institusi nasional saja yang diawasi dan dipantau oleh pemerintah? Bagaimana dengan institusi internasional yang membuka program pendidikan di Indonesia?" tanyanya.
Agus mengingatkan, saat ini terdapat banyak sekali sekolah/institusi bertaraf internasional membuka program pendidikan di Indonesia. Institusi-institusi bertaraf internasional ini diminati oleh pelajar Indonesia yang tidak memiliki kesempatan menuntut ilmu di negara lain.
Tapi ironisnya, sekolah-sekolah bertaraf internasional ini justru luput dari pantauan dan pengawasan dari pemerintah. Sehingga, papar Agus, mereka leluasa melakukan berbagai pelanggaran aturan perundang-undangan, menjalankan manejemen pengelolaan lembaga pendidikan semau-maunya sendiri, mempekerjakan dosen-dosen asing yang tidak memiliki kompetensi mengajar dengan baik, tidak menerapkan standart penerimaan siswa sesuai dengan aturan perundang-undangan.
"Belum lagi persoalan proses belajar mengajar di ruko-ruko yang tidak representatif untuk dijadikan gedung sekolah, institusi dikelola oleh sebuah Perseroan Terbatas (PT), dan lain sebagainya," jelasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: