Proses persidangan kasus yang menyita perhatian publik itu tergolong panjang dan sudah memasuki persidangan ke-25. Lantaran terkesan bertele-tele, anggota Komisi III Ruhut Sitompul pun mempertanyakan keseriusan Jaksa Agung menangani kasus Jessica. "Banyak yang bercanda ke saya, Jaksa Agung serius nggak nanyain kasus Jessica?" tutur Ruhut. Banyak pula yang meragukan kualitas jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan kasus tewasnya Mirna ini. "Sepertinya kurang pengalaman. Dibandingkan pengacara Jessica itu, si Otto Hasibuan itu kan banyak kali pengalamanannya. Umur memang nggak bisa bohong," seloroh Ruhut disambut tawa para koleganya.
Ruhut mengingatkan kejaksaan, sudah ada tanda-tanda Jessica akan bebas dari tuntutan. "Sudah mulai keliatan ini bebas murni, hati-hati loh," wanti-wanti politikus Demokrat ini. "Lebih baik hukum seribu, sejuta orang bersalah daripada menghukum satu tidak bersalah. Saya lihat hakim sudah pada pening itu. Maka, waspadalah-waspadalah," sambung Ruhut dengan logat Bang Napi, ikon program berita kriminal di sebuah stasiun televisi era 2000-an.
Selain Ruhut, anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi juga mempertanyakan kasus ini. "Saya juga melihat ini kan kasus yang menjadi perhatian media. Harus hati-hati. Publik mulai melihat ada yang tidak meyakinkan," imbuh Taufiqulhadi.
Prasetyo tak menampik, banyak pihak yang juga mempertanyakan kasus ini. "Banyak yang mempertanyakan juga. Kita ikuti saja dan percayakan jalannya kasus ini kepada mereka," tutur Prasetyo.
Dia menyebut, Jessica bakal dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan dakwaan tunggal. Soalnya, pembunuhan dengan menggunakan racun, biasanya sudah direncanakan sebelumnya. Prasetyo pun menyebut, kasus ini mirip dengan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.
Untuk diketahui, Munir dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam dengan pesawat Garuda Indonesia GA 974 pada 7 September 2004. Dalam pengadilan kasus itu, mantan pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto divonis penjara selama 14 tahun. Pollycarpus telah bebas bersyarat seusai menjalani masa hukuman 8 tahun. "Sebenarnya kasusnya mirip pembunuhan Munir, bahkan sebenarnya lebih mudah. Namun saat ini kita lihat ada pro dan kontra, ada yang bela dan kontra. Kita tunggu proses akhir perkara ini," bebernya.
Kejaksaan, menurut Prasetyo, juga sudah mempersiapkan saksi dari Australia yang didatangkan lewat Mutual Legal Assistant (MLA). Dalam persidangan terakhir, tim JPU memang berencana mendatangkan tiga saksi fakta ke persidangan. Ketiga saksi itu berasal dari Australia. Namun, Negeri Kanguru itu tak begitu saja mengizinkan warganya bersaksi. Mereka memberi syarat, yakni tak menuntut Jessica dengan hukuman mati. "Ada satu hal permintaan kita ke Pemerintah Australia untuk meminta izin terhadap pihak tertentu untuk hadir jadi saksi dalam persidangan. Hanya mereka ajukan syarat, asal tidak ada tuntutan mati. Ini disampaikan melalui Menkumham," katanya.
Permintaan itu diiyakan kejaksaan. Namun, Prasetyo tak menjamin jika akhirnya hakim menjatuhinya hukuman mati. "Saya sampaikan kita ikuti (permintaan Australia). Tapi kalau hakim memutuskan (hukuman mati), itu di luar kewenangan kita," tuturnya.
Kemarin, pada persidangan ke-25, Jessica menghadirkan saksi yakni Prof Mudzakir, ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII). Seharusnya, saksi ahli ini bersaksi dalam persidangan terakhir pada Kamis, 22 September 2016. Namun, karena keterbatasan waktu, Ketua Majelis Hakim Kisworo memutuskan menunda kesaksiannya. Dalam kesaksian, Mudzakir berbicara mengenai motif pembunuhan, pengambilan bukti, serta pemeriksaan tubuh korban kematian akibat racun. ***
BERITA TERKAIT: