Kebingungan ini diawali saat hakim membuka sidang dan bertanya ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) soal kehadiran terdakwa.
"Di mana terdakwa satunya?" tanya hakim saat itu.
Pertanyaan hakim langsung membuat JPU nampak kebingungan. Lucunya, JPU kemudian balik bertanya ke pengacara terdakwa.
"Terdakwa satunya mana?" tanya JPU ke arah pengacara terdakwa.
Dibalas singkat tapi juga agak ragu menjawab, "Masih dalam perjalanan, sudah sampai Bawean (Jalan Bawean)".
Ketika nama Jalan Bawean disebut, pertanyaan yang muncul, bukankah itu alamat kantor PT Sumber Hidup Chemindo yang tertulis dalam dakwaan yakni Jalan Bawean No 41 Surabaya? Apakah saat itu terdakwa sedang berada di kantornya, dan mengapa tidak di ruang tahanan?
Dari penelusuran di website resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya, disebutkan status terdakwa adalah tahanan.
Disebutkan sejak kasus ini bergulir, terdakwa sudah ditahan pada 29 Mei 2025 hingga 17 Juni 2025. Bahkan ketika masuk persidangan, penahanan terdakwa diperpanjang.
Pada sidang Minggu lalu, sesuai SIPP PN Surabaya, penahanan terdakwa dimulai 4 September 2025 hingga 2 November 2025. Hal ini sesuai dengan nomor surat 1792/Pid.Sus/2025/PN Sby. Jika informasi ini benar, berarti status terdakwa adalah tahanan.
Memang banyak pertanyaan terkait status terdakwa. Sebenarnya terdakwa ditahan atau tidak? Adakah kesalahan administrasi di SIPP PN Surabaya? Sebab saat sidang, hakim dan jaksa dibuat bingung dengan ketidakhadiran terdakwa. Ataukah status terdakwa saat itu hanya sebagai saksi. Mengingat kasus sianida impor ilegal ini perkaranya ada dua meski dengan locus tempat kejadian yang sama.
Pada perkara pertama dengan nomor perkara 1791/Pid.Sus/2025/PN Sby terdakwanya Steven Sinugroho selaku direktur PT SHC dan saksi Sugiarto Sinugroho. Sedangkan pada nomor perkara 1792/Pid.Sus/2025/PN Sby Sugiarto menjadi terdakwa dan Steven sebagai saksi.
Dalam dakwaan, keduanya sama-sama didakwa pasal 106 Jo pasal 24 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Seorang praktisi hukum menyebutkan, locus tempat kejadian sama dengan dua perkara bisa jadi persidangan melihat dari peran masing-masing terdakwa. Ada yang berperan sebagai organisator dan bertanggung jawab atas perusahaan. Sebab ini adalah kejahatan korporasi.
Namun terkait dengan status terdakwa yang tidak ditahan sebagaimana membuat 'kebingungan' persidangan -- sementara informasi di website resmi pengadilan statusnya menyebut ditahan, maka kesimpangsiuran ini perlu penjelasan logis.
Wajar jika sebelumnya pengamat hukum Mohammad Trijanto menaruh perhatian pada kasus ini. Pihaknya meminta Komisi Kejaksaan RI memantau dan aktif melakukan audit internal terhadap JPU.
Komisi ini adalah pengawas independen. Punya mandat untuk menyelidiki dugaan penyimpangan etik jaksa. Apalagi kasus ini sejak awal terdapat banyak kejanggalan. Trijanto menduga bahwa sidang kasus sianida impor ilegal, bakal 'hilang' dari ruang publik.
Maka, sangat disayangkan jika kasus seheboh ini sepi dari pemberitaan meski skala bahayanya setara ribuan nyawa, sindir Trijanto.
Tidak hanya itu, Trijanto juga meminta Komisi Yudisial (KY) ambil peran proaktif. Sebagai lembaga mandiri, KY harus bertanggung jawab menjaga integritas hakim melalui pengawasan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Jangan sampai kasus ini kemudian berkembang menjadi bola liar yang memporak porandakan sistem peradilan kita. Sebagaimana kasus Ronald Tannur beberapa waktu silam.
Pelaku yang saat itu jelas-jelas melakukan penganiayaan hingga mengakibatkan korban meninggal malah divonis bebas. Berita yang awalnya sepi itu, langsung viral. Hakim yang menyidangkan kasus tersebut diusut. Terbukti, publik akhirnya diperlihatkan betapa bobroknya sistem peradilan Ronald Tannur.
Dalam kasus ini, KY harus memantau hakim PN Surabaya untuk memastikan tidak ada intervensi eksternal yang memperlambat agenda sidang, karena minimnya transparansi.
Kata Trijanto, KY bukan hanya pengusul hakim agung saja, KY harus "turun gunung juga" dengan melakukan hearing publik atau inspeksi mendadak, seperti yang direkomendasikan dalam laporan tahunan KY untuk mencegah konflik kepentingan yang berpotensi bakal terjadi.
Seperti diketahui, saat ini pemerintahan Prabowo Subianto sedang fokus melakukan reformasi terhadap institusi Kepolisian. Namun rupanya ada usulan agar reformasi juga dilakukan di tubuh Kejaksaan.
Usulan itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Al Washliyah (PP GPA), Aminullah Siagian dalam keterangan tertulisnya dimuat
RMOL, Selasa 14 Oktober 2025.
Aminullah melihat pembenahan sistem hukum tidak boleh berhenti pada satu lembaga, karena keadilan adalah ekosistem yang saling terkait dan tidak bisa parsial termasuk institusi Kejaksaan.
Ya, jika reformasi Kepolisian digagas karena dinilai ada penyimpangan, maka Kejaksaan juga perlu dibedah secara jujur dan transparan. Pasalnya, kejaksaan memiliki peran strategis sebagai pengendali proses hukum dan garda terakhir penegakan keadilan. Namun kerap kali masih ada proses penegakan hukum yang belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan publik.
Supremasi hukum harus di atas segala kepentingan, ini pengingat saja untuk sidang kasus sianida impor ilegal yang saat ini sedang berjalan.
Nah, Pak Jaksa dan Pak Hakim, tugas Anda begitu besar di kasus ini. Jangan sampai terjebak dan mengulangi kesalahan seperti kasus Ronald Tannur.
Wallahua'lam.
Noviyanto AjiWapemred RMOLJatim
BERITA TERKAIT: