Hal ini dicetus Cecep selesai diperiksa penyidik KPK sebagai saksi dalam pengusutan kasus dugaan korupsi Nur Alam.
"Ya
kan yang minta rekomendasi
kan Gubernur ke Bupati.
Nah kemudian bupati menerbitkan rekomendasi. Setelah itu bukan kewenangan kami," jelas Cecep di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (9/9).
Saat dimintai keterangan lebih jauh soal penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP),
Cecep berkelit bahwa itu tanggung jawab gubernur. Pihak kabupaten, kata dia, hanya memberikan rekomendasi.
"Rekomendasi pasti ada
kan ketentuannya setiap izin yang diterbitkan oleh gubernur direkomendasi ke kabupaten itu saja," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Konawe Kepulauan itu
"Yang jelas saya hanya mengerti rekomendasi tersebut ditandatangani oleh bupati, sudah," sambung Cecep, menekankan.
Sebelumnya, mantan Bupati Bombana, Attikurahman mengakui pernah mengeluarkan keputusan pengelolaan tambang oleh PT AHB di Kab Bombana. Hanya saja, surat tersebut kemudian dibatalkan setelah dirinya tahu bahwa lahan yang dikuasai oleh PT AHB masih dalam kawasan PT Inco yang saat ini sudah bernama PT Vale.
"Karena lahan itu bekas kawasan PT Inco maka saya kemudian perintahkan kepada Cecep yang saat itu adalah kadis Pertambangan Bombana untuk membatalkan surat sebelumnya melalui surat Keputusan Bupati Bombana," ujar Attikurahman usai diperiksa oleh penyidik KPK di gedung Reskrim Polresta Baubau, beberapa waktu lalu.
Setelah dibatalkan, tak berselang lama, lanjut Attikurahman, Nur Alam lalu memanggilnya untuk minta dibuatkan rekomendasi terkait surat yang sebelumnya telah ditandatangani. Tapi, Attikurahman mengaku enggan memenuhi permintaan Nur Alam karena surat yang dimaksud sudah dibatalkan.
"
Nah, pada tahun 2011 saya dipanggil lagi oleh gubernur disalah satu hotel di Jakarta tapi saya lupa nama hotelnya. Saat itu ada lima orang sudah termasuk Nur Alam dan saya. Dalam pertemuan itu, mereka meminta saya untuk mengubah surat sebelumnya. Tapi, saat itu saya sudah tidak jadi bupati lagi, jadi saya sudah tidak berhak memberikan rekomendasi," klaim dia.
Kasus ini pun sempat masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN), dan Nur Alam kalah dua kali di PT TUN atas gugatan PT. Prima Nusa Sentosa (PNS) terkait tumpang tindih izin lahan tambang dengan PT AHB.
Hal ini sesuai putusan PT TUN Kendari yang disidangkan tanggal 30 Mei 2011 dengan Nomor 33/G.TUN/2010/PT-K di dan putusan pada PT TUN Makassar dalam perkara banding bernomor 106/B.TUN/2011/PT TUN MKS tanggal 29 September 2011 yang sekaligus menguatkan putusan PT TUN Kendari.
PT TUN Makassar menilai Nur Alam dalam menerbitkan izin yang menjadi obyek sengketa, terbukti prosedural formal dan subtansi materil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku yaitu UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No 1603.K/40/M.EM/2003, serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Putusan PTUN Makasar yang menguatkan putusan PTUN Kendari sekaligus menegaskan bahwa PT PNS berhak secara hukum untuk melakukan penambangan di atas lahan seluas 1.999 ha di kecamatan Kabaena Tengah dan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, selama 20 tahun. Anehnya, walau dinyatakan kalah di persidangan, aktivitas penambangan tetap dilakukan PT AHB saat itu.
Masuk tahun 2016, KPK mulai menyelidi kasus Nur Alam ini dan menemukan bukti permulaan yang cukup. Alhasil, pada 23 Agustus 2016, KPK mengumumkan mantan Ketua DPW PAN itu sebagai tersangka karena diduga menyalahgunaan wewenang menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan IUP Eksplorasi.
Nur Alam disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
.[wid]
BERITA TERKAIT: