Arsul meminta pembaÂhasan RUU itu distop saja. Alasannya, tidak ada hal mendesak untuk melengkapi regulasi tata kelola sektor keamanan Indonesia. Selain itu, DPR juga masih punya banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan.
"Saat ini itu ada 40 RUU daÂlam Prolegnas yang belum seÂmua dibahas. Buat apa menamÂbah daftar panjang. Itu sama saja nggak bakal tergarap," ucapnya dalam diskusi di ruang pers DPR, kemarin.
Beberapa pekerjaan yang harus segera dirampung Komisi III antara lain revisi KUHP dan KUHAP, dan membahas RUU Jabatan Hakim. Jika dipaksaÂkan, RUU Kamnas hanya akan masuk dalam daftar tunggu Prolegnas dan akan menjadi bahan hujatan terhadap DPR.
"Komisi III masih mumet, selesai buku satu KUHP baru masuk buku dua, terus masuk UU Jabatan Hakim. Kalau (RUU Kamnas) dipaksakan masuk, ya hanya menambah daftar tunggu. Menambah baÂhan teman-teman media massa, menilai DPR tidak produktif," tandas politisi PPP ini.
Direktur Imparsial Al Araf menegaskan, Indonesia teÂlah memiliki UU Pertahanan, UU TNI, UU Polri, dan UU Intelijen. Karenanya, dibanding membuat undang-undang baru, lebih baik DPR merevisi UU Nomor 23/1959 tentang Keadaan Darurat atau Tugas Perbantuan.
"Kita sudah memiliki banyak undang-undang yang berkaitan. Kalau mau meningkatkan koordinasi, meningkatkan keamanan nasional, yang harus dibahas revisi UU Tugas Perbantuan," katanya.
Menurut Al Araf, pembaÂhasan RUU Kamnas juga berÂpotensi mengancam demokraÂsi. Sebab, Pasal 12 dalam draf RUU tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa Presiden bisa menenÂtukan ancaman potensial dan ancaman aktual. ***
BERITA TERKAIT: