Temuan LBH Dan MaPPI, Ratusan Ribu Berkas Perkara Hilang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 22 Juli 2016, 16:44 WIB
Temuan LBH Dan MaPPI, Ratusan Ribu Berkas Perkara Hilang
ilustrasi
rmol news logo Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) merilis hasil penelitian dengan judul "Prapenuntutan Sekarang, Ratusan Ribu Perkara Disimpan, Puluhan Ribu Perkara Hilang: Penelitian Pelaksanaan Mekanisme Prapenuntutan di Indonesia Sepanjang Tahun 2012-2014".

Dari penelitian tersebut ditemukan sejumlah gambaran terkait pelaksanaan prapenuntutan dan analisa hukum terhadap permasalahan tersebut. Salah satu temuan terdapat kurang lebih 255.618 ribu perkara dari total kurang lebih 645.780 ribu perkara yang disidik oleh penyidik kepolisian, yang penyidikannya tidak diberitahukan kepada penuntut umum sepanjang tahun 2012 hingga 2014.

Atas temuan ini, Pengacara Publik LBH Jakarta, Ichsan, menjelaskan bahwa ratusan ribu perkara yang disidik tanpa diberitahukan kepada penuntut umum dapat diartikan sebagai perkara yang disidik tanpa adanya transparansi, check and balance, dan pengawasan dari penuntut umum.

"Tanpa adanya surat perintah dimulainya penyelidikan (SPDP), penyidikan akan kehilangan pengawasan dari penuntut umum, dan penyidikan tanpa pengawasan tentu akan membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan. Salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, undue delay, korupsi peradilan, jual-beli perkara, dan berbagai bentuk kesewenang-wenangan lain adalah imbas dari penyidikan yang dilakukan tanpa pengawasan efektif," beber dalam keterangannya, Jumat (22/7).

Selanjutnya, dari penelitian ini juga diperoleh temuan berupa terdapat kurang lebih 44.273 ribu perkara hilang” dari total kurang lebih 353.000 ribu perkara yang diterima oleh penuntut umum sepanjang 2012-2014.

Terkait hal ini, peneliti MaPPI FHUI, Adery Ardhan menjelaskan bahwa terjadinya kasus-kasus "hilang" perkara dalam jumlah yang begitu besar adalah karena pola kordinasi antara penyidik dan penuntut umum tidak efektif. Adery menjelaskan tidak adanya keterlibatan aktif penuntut umum dalam tahap penyidikan mengakibatkan seringkali adanya gap pemahaman antara penyidik dan penuntut umum, yang berujung pada tidak mampunya penyidik memenuhi petunjuk penuntut umum atau bolak balik berkas perkara berkepanjangan.

"Permasalahannya adalah, saat penyidik tidak mampu memenuhi petunjuk JPU, penyidik malah menggantung perkara tersebut. Seharusnya apabila memang tidak bisa memenuhi petunjuk JPU, penyidik harus fair menghentikan perkara tersebut," tambah Adery.

Dari dua temuan diatas, menurut Adery setidaknya diperoleh gambaran bahwa mekanisme prapenuntutan, atau mekanisme kordinasi penyidik dan penuntut umum masih belum efektif.

"Hal ini tergambar dari pelanggaran kewajiban pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum yang terjadi dalam jumlah yang sangat masif, dan begitu banyaknya jumlah perkara-perkara yang hilang," demikian Adery. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA