RMOL. Pengacara Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi, Otto Bismarck menyikapi musibah yang dirasakan oleh kliennya sebelum dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Oprasi Tangkap Tangan, Jumat malam (12/2) lalu dalam kasus dugaan suap penundaan pemberian salinan putusan kasasi perkara korupsi di Mahkamah Agung (MA).
"Ibaratnya kalau kita tenggelam di laut, ranting pun kita pegang supaya selamat," kata Otto seusai menemani pemeriksaan kliennya di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (26/2).
Otto merupakan pengacara Ichsan saat menangani kasus korupsi pembangunan Dermaga Labuhan Haji di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hingga ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Mataram, NTB, Ichsan masih menunjuknya sebagai kuasa hukum. Namun saat pengajuan kasasi ke MA, Ichsan memilih Awang Lazuardi Embat sebagai kuasa hukumnya. Namun kini baik Awang maupun Ichsan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
Otto menjelaskan, upaya Ichsan meminta Kasubdit Kasasi dan PK Pranata Perdata MA nonaktif, Andri Tristianto Sutrisna menunda putusan MA untuk memberikan jeda waktu dalam upaya Ichsan melakukan Peninjauan Kembali.
"Dengan salinan putusan ditunda jadi tidak dieksekusi jadi sempat PK," kata dia.
Otto menilai alasan Ichsan melakukan tindakan nekat tersebut lantaran kliennya pernah merasa diperlakukan tidak adil saat menjalani proses hukum terkait kasus korupsi pembangunan Dermaga Labuhan Haji di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahkan kliennya merasa sebagai korban kriminalisasi.
Dalam pembangunan Dermaga Labuhan Haji tersebut, kata dia, Ichsan sebenarnya merasa memiliki hak untuk mendapat keuntungan, dan PT Citra Gading Asritama yang dipimpin Ichsan, berhak menerima pembayaran sebesar Rp 11 miliar. Hal ini sesuai dengan hasil audit yang dilakukan Kabupaten Lombok Timur.
"Kalau bercerita perkara pokoknya kan menyangkut pembangunan Dermaga Labuhan Haji, di situ merasa ada yang tidak fair, dikriminalisasi karena dermaga labuhan haji sendiri pak Ichsan mendapat atau dibayar berdasar audit claim dulu pada 2010 yang mengajukan permohonan dari Kabupaten Lombok Timur, pekerjaan diaudit kemudian keluar hasil audit mengatakan PT Citra Gading berhak mendapat pembayaran Rp11 miliar sekian," jelasnya.
Namun lanjut Otto, pada 2014, saat Kejaksaan Tinggi NTB melakukan penyidikan proyek Dermaga Labuhan Haji, ditemukan kerugian negara sebesar Rp4 Miliar. Padahal di tahun 2010, proyek tersebut telah diaudit dengan melibatkan BPKB serta ahli dari Universitas Mataram namun hasilnya berbeda dengan yang ditemui Kejaksaan Tinggi NTB.
"Dia (Ichsan) merasa tidak mendapat keadilan, terjadi kriminalisasi dari tahap penyidikan sampai persidangan dan sampai sekarang," ujar dia.
Kasus yang menjadikan Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi sebagai tersangka bermula saat Andri tertangkap tangan usai menerima uang Rp400 juta dari Direktur PT Citra Gading Asritama, Ichsan Suaidi lewat pengacaranya, Awang Lazuardi Embat dikediamannya.
Mereka bertiga langsung ditetapkan sebagai tersangka usai menjalani pemeriksaan intensif. Ichsan dan Awang diduga sebagai pemberi suap. Sementara Andri diduga penerima suap dalam dugaan penundaan pemberian salinan putusan kasasi terkait perkara Ichsan.
Ichsan dan Awang selaku pemberi suap diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sementara itu, Andri selaku pihak yang diduga penerima suap disangka Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"ini ibaratnya kalau kita tenggelam di laut, ranting pun kita pegang supaya selamat," demikian Otto. [sam]
BERITA TERKAIT: