Demikian kritik Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), Fadli Nasution mengomentari penangkapan anggota DPR dari Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura), Dewi Yasin Limpo dalam OTT di Kelapa Gading, Jakarta, tadi malam (Selasa, 201/0). Belum lama KPK juga telah menetapkan anggota DPR lain dari Partai Nasdem, Patrice Rio Capella sebagai tersangka dugaan gratifikasi terkait perkara bantuan sosial di Pemprov Sumatera Utara.
"Jika KPK hanya bisa melakukan OTT dengan petunjuk hasil sadapan, bukankah hal yang sama juga bisa dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan kalau diberi kewenangan serupa tanpa izin pengadilan terlebih dulu," ujar Fadli kepada
Kantor Berita Politik RMOL, sesaat lalu (Rabu, 21/10).
Karena itulah, menurut dia, memang sudah selayaknya kinerja dan eksistensi KPK dievaluasi secara menyeluruh, di antaranya melalui revisi UU KPK. Parameter keberhasilan kinerja KPK terhadap penyelenggaraan negara harus diperjelas. Terutama berkaitan seberapa besar peran KPK dalam mencegah dan mengembalikan kerugian keuangan negara.
"Sekarang ini kan lebih banyak kasus OTT, ketimbang kerugian negara yang besar-besar atau
big fish," cetusnya.
Fadli menambahkan bahwa pihaknya sedang meneliti kinerja KPK selama 12 tahun terakhir untuk memastikan jumlah kasus hasil OTT kemudian dibandingkan antara perkara korupsi kerugian keuangan negara (APBN/APBD), dengan kasus-kasus gratifikasi, suap, penggelapan dalam jabatan, kolusi dan nepotisme. Menurut Fadli, hal ini penting bagi publik supaya menjadi jelas masih diperlukan atau tidaknya lembaga KPK.
Jika dalam 12 tahun ini perilaku korupsi makin meningkat, berarti KPK gagal mencegah korupsi.
"Sudah cukuplah pencitraan, kalau nangkap atau umumkan seseorang jadi tersangka korupsi di media massa, belum tentu juga itu prestasi. Harus dilihat dulu substansi kasusnya, kerugian keuangan negara atau hanya soal suap dan gratifikasi," tutup Fadli.
[wid]
BERITA TERKAIT: