Komisi Hukum: Penanganan Korupsi Tak Perlu Izin Presiden

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 23 September 2015, 21:02 WIB
Komisi Hukum: Penanganan Korupsi Tak Perlu Izin Presiden
net
rmol news logo Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin mengaku dapat menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan pemeriksaan anggota dewan atas dugaan tindak pidana harus mendapat izin Presiden RI.

"Kalau tindak pidana presiden, misal periksa anggota dewan itu harus izin," katanya usai melawat ke rumah duka Adnan Buyung Nasution di Jalan Poncol Lestari Nomor 7, Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (23/9).

Namun begitu, menurut Azis, untuk pengusutan kejahatan luar biasa termasuk dugaan korupsi tidak perlu menunggu izin dari presiden.

"Kalau yang sifatnya extraordinary crime seperti tertangkap tangan, human against humanity itu tidak perlu. Kasus korupsi itu tidak perlu," bebernya.

Politisi Partai Golkar itu juga masih mempertanyakan berapa lama izin presiden akan dikeluarkan jika ada laporan atas anggotan dewa yang diduga melakukan tindak pidana.

"Tinggal jangka waktunya. Kalau sudah dikasih submit pak presiden jadinya berapa lama," tegas Azis.

Diketahui, pada Selasa kemarin (22/9), Mahkamah Konstitusi memutuskan penegak hukum jika ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin presiden. Dengan begitu, tak berlaku lagi aturan yang menyebut pemberian izin dapat memeriksa berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon, yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD.

Mahkamah menilai, pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari MKD tidak tepat. Mengingat, MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

Mahkamah juga berpendapat, pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan. Sebab, anggota MKD merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.

Tidak hanya anggota DPR, MK dalam putusannya juga memberlakukan hal tersebut terhadap anggota MPR dan DPD.

Sementara itu, pemanggilan anggota DPRD provinsi yang diduga berkaitan dengan proses hukum harus mendapat persetujuan dari mendagri. Adapun anggota DPRD kabupaten harus mendapat izin gubernur.

Dengan begitu, frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Pasal 245 ayat 1 selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.

Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Sebelumnya, pasal 224 ayat 5 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3, dan 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD.[dem]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA