"Pembebasannya akan konsisten dengan komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 untuk membebaskan semua tahanan politik di Indonesia," kata Campaigner-Indonesia and Timor Leste Southeast Asia and Pacific Regional Office Amnesty International, Josef Roy Benedict melalui siaran pers yang diterima redaksi, pagi ini (Selasa, 30/6).
Untuk diketahui, Johan Teterissa ditangkap pada 29 Juni 2007 setelah ia dan 22 aktivis lainnya terlibat dalam sebuah aksi unjuk rasa damai di depan Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono, yang menghadiri sebuah upacara resmi untuk Hari Keluarga Nasional di kota Ambon, ibukota provinsi Maluku.
Pada saat upacara berlangsung, Johan Teterissa memimpin aktivis-aktivis lainnya yang kebanyakan adalah para guru dan petani, masuk ke lapangan dan mempertunjukan sebuah tarian perang tradisional di depan presiden. Pada akhir tarian tersebut, para aktivis membentangkan bendera 'Benang Raja', sebuah simbol kedaerahan yang dilarang.
Menurut Josef, polisi dan pengawal kepresidenan ketika itu merespon aksi Johan dkk dengan menahan mereka dan juga memukuli dan meninju mereka dengan popor senapan. Ke 22 aktivis tersebut kemudian disiksa oleh polisi, termasuk para aparat dari unit antiteroris (Densus-88), selama masa penahanan dan interogasi.
"Delapan tahun berlalu, tidak ada investigasi independen yang telah dilakukan terhadap tuduhan penyiksaan tersebut dan tidak ada satu pun aparat kepolisian yang dimintai pertanggungjawaban," tegas Josef.
Johan Teterissa dan aktivis lainnya kemudian dituduh dengan pidana makar di bawah Pasal 106 dan 110 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal-pasal yang sering digunakan pihak berwenang Indonesia untuk memenjarakan aktivis-aktivis politik damai.
Johan Teterissa awalnya dihukum penjara seumur hidup. Tetapi, hukuman ini dikurangi menjadi 15 tahun penjara di tingkat banding. Pada Maret 2009, ia dan puluhan tahanan nurani lainnya dipindahkan ke penjara-penjara di Pulau Jawa.
Amnesty International, KontraS, LBH Rakyat Maluku, dan Humanum menganggap Johan Teterissa dan mereka yang ditangkap bersamanya sebagai tahanan nurani (
prisoner of conscience).
"Mereka dipenjara semata-mata karena secara damai menjalankan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul," ujar Josef lagi.
Menurutnya, pihak berwenang Indonesia telah terus menggunakan pasal-pasal makar untuk memenjarakan para aktivis politik di Maluku karena secara damai mengekspresikan pandangan-pandangan politik mereka.
Organisasi-organisasi juga di atas mendesak DPR RI dalam kesempatan di depan pembahasan revisi KUHP untuk mencabut atau paling tidak mengubah Pasal 106 dan 110 sehingga pasal-pasal ini tidak lagi bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.
[wid]
BERITA TERKAIT: