Machfud Suroso Didakwa Perkaya Olly Dondokambey Cs

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 18 Desember 2014, 16:52 WIB
Machfud Suroso Didakwa Perkaya Olly Dondokambey Cs
rmol news logo Direktur Utama PT Dutasari Citalaras Machfud Suroso didakwa melakukan tindak pidana korupsi di proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan Sekolah dan Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang bersama-sama sejumlah pihak. Akibat korupsi berjamaah pada proyek bernilai sekitar Rp 1 triliun itu, Machfud disebut memperkaya diri sendiri, pihak lain, dan korporasi. Keuangan negara atau perekonomian negara dirugikan sebesar Rp 465.514.294.145,91 akibat ulah mereka.

"Terdakwa bersama Teuku Bagus Mokhamad Noor mempengaruhi Kuasa Pengguna Anggaran, panitia pengadaan dan pihak lain terkait dalam proyek P3SON dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," kata Jaksa KPK Fitroh Rohcahyanto saat membacakan surat dakwaan terdakwa Machfud Suroso di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamus (18/12).

Jaksa terangkan, Machfud memperkaya diri sendiri sebesar Rp 46.507.924.894. Angka tersebut diterima Machfud dari bancakan fee 18 persen atau sekitar Rp 185.580.224.894 melalui rekening PT Dutasari Citalaras. Padahal, kebutuhan untuk pengerjaan Mekanikal Elektrikal (ME) oleh PT Duta Dutasari hanya Rp 89.150.000.000.

Sementara keuntungan yang diterima Machfud bagian dari Rp 96.430.224.894. Selain Machud, sejumlah pihak ikut kecipratan uang harap dari nilai tersebut. Diantaranya, eks Bendum Partai Demokrat M Nazaruddin, Anas Urbaningrium, Wafid Muharam, Mahyuddin, Adirusma Dault, Olly Dondokambey, Deddy Kusdinar, dan Anggota DPR.

Lisa Lukitawati Isa, Arief Gundul, Muhamad Arifin, teguh Suhanta, Roni Wijaya, Siti Mudjinah (kakak Machfud), dan Nunik S (adik Machfud) juga disebut ikut kecipratan.

Atas perbuatan itu, Machfud didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

"Perbuatan terdakwa bersama-sama pihak lain tersebut telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 464.514.294.145,91," terang Fitroh.

Korupsi berjamaah yang dilakoni terdakwa bermula saat yang bersangkutan mendengar informasi keikutsertaan PT Adhi Karya dalam proyek P3SON itu sebelum pelaksanaan lelang proyek. Bersama Munadi Herlambang, Machfud kemudian melakukan pertemuan dengan Manajer Pemasaran Div. Konstruksi I PT Adhi Karya M. Arief Taufiqurrahman.

Menundaklanjuti hal itu, Machfud bersama Teuku Bagus dan M. Arief difasilitasi Paul Nelwan melakukan pertemuan dengan sekretaris Kemenpora Wafid Muharam untuk menyampaikan bahwa PT Adhi Karya ingin berpartisipasi dalam proyek P3SON di Kemenpora.

"Setelah pertemuan itu, terdakwa yang menginginkan agar ditunjuk sebagai sub-kontraktor oleh PT Adhi Karya dalam pekerjaan makanikal elektrikal (ME) melalui Paul Nelwan memberikan uang kepada Wafid Muharam sebesar Rp 3 miliar sebagai pemberian awal agar PT Adhi Karya dapat mengerjakan proyek P3SON," terang Jaksa Fitroh.

Dalam perkembangannya M. Nazarudin rupanya juga menginginkan proyek itu. Terlebih pemilik Grup Permai itu telah mengeluarkan uang Rp 10 miliar untuk pengurusan penerbitan sertifikat tanah proyek Hambalang.

"Yang diserahkan kepada Joyo Winoto Rp 3 miliar, Mantan Menpora Andi Mallarangeng Rp 5 miliar melalui Choel Malarangeng dan anggota Komisi X DPR RI sebesar Rp 2 miliar," terang Jaksa.

Atas permasalahan itu, Macfhud meminta bantuan Anas Urbaningrum supaya M. Nazarudin mundur dari proyek P3SON Hambalang. Alhasil Nazaruddin gigit jari lantaran batal menggarap proyek tersebut.

Setelah ada kepastian Nazarudin mundur, dilakukan pertemuan dengan Mantan Kepala Div. Konstruksi PT Adhi Karya Deddy Kusdinar, Lusi Lukitawati Isa dan Muhammad Arifin di mana saat itu Deddy meminta PT Adhi Karya selaku calon pemenang lelang untuk jasa konstruksi memberikan fee 18 persen. Di mana saat itu disetujui Teuku Bagus dan menyampaikan bahwa realisasi fee akan diberikan melalui terdakwa yang perusahaannya menjadi sub-kon untuk pekerjaan ME.

Dalam rangka mengikuti lelang jasa konstruksi P3SON, selanjutnya PT Adhi Karya bekerjasama dengan PT Wijaya Karya dalam bentuk kerja sama operasi (KSO) Adhi-Wika yang dipimpin PT Adhi Karya Div. Konstruksi I dengan menunjuk Teuku Bagus selaku kuasa KSO dan HaranganParlaungan Sianipar asal PT Wijaya Karyasebagai wakil kuasa KSO.

"Bahwa atas pendekatan dari terdakwa dan pihak KSO Adhi-Wika, maka dalam proses lelang proyek P3SON panitia pengadaan tidak melaksanakan pelelangan sebagaimana mestinya, sehingga KSO Adhi-Wika ditetapkan sebagai pemenang lelang," kata Jaksa.

KSO kemudian melibatkan perusahaan milik Machfud dalam pengerjaan Mekanikal Elektrikal. Macfud juga memprakarsai penggelembungan harga terkait pengerjaan tersebut sebesar Rp 245 miliar ditambah pajak sehingga nilai kontrak sub-kontraktor menjadi Rp 324.500 miliar.

Dalam pelaksanaan pembangunan proyek itu, KSO Adhi-Wika telah menerima pembayaran dari Kemenpora seluruhnya Rp 453 miliar. Dari penerimaan itu untuk melakukan pembayaran pada PT DCL termasuk di dalamnya realisasi fee 18 persen secara bertahap dibayarkan pada rekening Machfud seluruhnya Rp 171 miliar dan pembayaran dari PT Adhi Karya Rp 12.500 miliar dan dari PT Wijaya Karya sebesar Rp. 1.5 miliar sehingga uang yang diterima seluruhnya Rp 185 miliar.

"Bahwa sebagaimana rencana awal mengenai pembayaran fee 18 persen atas proyek Hambalang yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan ME hanya Rp89 miliar sedangkan sisanya Rp 96 miliar digunakan untuk bagi-bagi," beber jaksa.

Kongkalikong itu terbongkar usai pembayaran KSO Adhi-Wika kepada PT DCL melalui rekening pribadi Machfud. Hal itu diketahui dari hasil temuan dari tim audit internal PT Adhi Karya. Dimana, uang yang dialirkan ke rekening Duta Sari tidak sesuai kontrak yang seharusnya.

Tak hanya itu, ditemukan pula pembayaran sebesar Rp 2.5 miliar ke rekening Machfud yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga dibuat kontrak pekerjaan penyambung listrik PLN antara terdakwa dan PT Adhi Karya seolah-olah ada pekerjaan penyambungan listrik padahal tidak pernah ada pekerjaan penyambungan listrik. Untuk menutupi borok tersebut, dilakukan pertemuan. Kemudian dilakukan perubahan kontrak menambahkan opsi pembayaran secara tunai/cek kepada Machfud.

"Tahun 2012, terdakwa berusaha menutupi laporan keuangan atas pekerjaan ME proyek P3SON Hambalang dengan membuat seolah-olah dalam pelaksanaan pekerjaan mengalami kerugian, Terdakwa juga berusaha menutupi pengeluaran uang sebesar Rp 21 miliar ke PT Adhi Karya yang merupakan bagian realisasi fee 18 persen dengan membuat seolah-olah pengeluaran tersebut adalah pinjaman dari PT DCL kepada PT Anugerah Indocoal Pratama untuk bisnis pertambangan," tandas Jaksa.

Merespon dakwaan jaksa penuntut umum, Machfud mengaku sudah mengerti. Machfud juga tidak akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Sidang sendiri akan dilanjutkan pada Senin (8/1/2015) dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi yang akan dihadirkan JPU KPK.

"Pada prinsipnya saya sudah mengerti dengan dakwaan oleh karena itu kami tidak perlu mangajukan eksepsi," terang Machfud.[wid]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA