Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu meladeni tanya jawab dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (28/8).
Anas, yang didakwa dalam dugaan gratifikasi proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya itu, melontarkan pertanyaan tentang tindak pidana pencucian uang. Sebelumnya, Anas juga menanyakan hal serupa ke ahli lain yang dihadirkan, Edward Omar Syarief yang menjabat Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada.
Anas menanyakan apakah wajib bagi penegak hukum, dalam hal ini KPK, untuk mengusut TPPU jika tindak pidana asal alias
predicat crime tidak terbukti.
"Kalau tidak ada
predicat crime, maka tidak ada TPPU," jawab Yunus.
"Kalau tidak didakwakan, hanya diuraikan, namun uraian tidak benar, tidak faktual, tidak berdasarkan bukti fakta persidangan?" tanya Anas lagi.
"Jadi yang paling penting, kalau terbantahkan semua uraian, bukti permulaan aliran uang dan kausalitasnya tidak kelihatan, tidak ada link ke TPPU," jawab Yunus.
Sejauh ini, dalam persidangan yang telah bergulir, sejumlah saksi kerap membantah dakwaan Jaksa KPK. Mulai dari ketua tim relawan, pengurus DPC sampai sejumlah pegawai yang pernah bekerja di perusahaan Muhammad Nazaruddin. Sebut saja Yulianis, Oktarina Furi, dan Mindo Rosalina Manulang. Yulianis dan Oktarina adalah tukang catat keluar masuknya uang di konsorsium perusahaan Nazaruddin, Permai Grup. Sementara Rosa, sapaan Mindo, adalah bos marketing.
Anas didakwa Jaksa KPK menerima uang Rp 116,525 miliar dan US$ 5,2 juta dari beberapa proyek pemerintah yang menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Selain itu, ia juga disebut menerima dua buah unit mobil, yakni Toyota Harrier bernomor polisi B-15-AUD senilai Rp 670 juta dan Toyota Vellfire berpelat nomor B-6-AUD seharga Rp 735 juta. Juga, dana kegiatan survei pemenangan di Kongres Partai Demokrat sebesar Rp 478.632.230.
[ald]
BERITA TERKAIT: