Atut mengakuinya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/7). Meski demikian, tegas Atut, pertemuan tersebut tidak direncanakan. Pertemuan yang akhirnya membicarakan mengenai aturan MK terkait sengketa Pilkada itu terjadi tanpa disengaja.
"Disampaikan Beliau, apabila terjadi sengketa, MK memberikan waktu tiga bulan paling lama. Saya akhirnya mengetahui bila di Banten terjadi sengketa daerah bisa dilaksanakan walaupun setelah bulan Oktober," terang Atut.
Atut mengklaim, selaku Gubernur Banten saat itu dia merasa wajib untuk mengetahui bagaimana prosedur atau aturan untuk mengajukan gugatan dalam sengketa pilkada. Apalagi saat itu ada tiga wilayah bersengketa.
"Saya selaku gubernur punya tanggung jawab untuk menyelesaikan perkara pilkada tersebut. Saya punya kewajiban, perselisihan di akhir Oktober itu tetap dilakukan atau tidak," terang dia.
"Lebih kepada kekhawatiran saya. Saat itu memang di kota Tangerang ada konflik di DKPP. Itulah salah satu yang saya mau ketahui apabila terjadi sengketa yang dilaporkan ke MK," sambung wanita berhijab itu.
Soal apakah dalam pertemua itu masalah Pilkada Lebak juga ikut dibahas, Atut tak membantah. Hanya saja, tak dibicarakan secara spesifik. Dia membantah permintaan bantuan ke Akil terkait sengketa pilkada yang berujung penetapannya sebagai tersangka.
Atut menambahkan, dia mendapat nomor telepon Akil ketika di bandara. Lalu, Atut mengubungi Akil untuk meminta bertemu keesokan harinya. Tapi, dia menegaskan bahwa tujuan utama pertemuan itu adalah silaturahmi.
"Saat itu saya tanya di mana bermalam, beliau (Akil) jawab di JW Marriot. Saya lebih kepada ingin silaturahmi. Itu kaitannya dengan adat ketimuran," tandas kader Partai Golkar itu.
[ald]
BERITA TERKAIT: