"Pertanyaan yang muncul itu misalnya apakah mengetahui pelaksanaan Kongres (Partai Demokrat di Bandung), jika menjawab tidak, publik tidak percaya karena SBY ketua dewan pembina dan Ibas sebagai Ketua SC," kata pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji saat dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa (6/5).
Lebih lanjut Suparji berpendapat, alasan yang dikemukakan pengacara SBY semestinya tidak membuat KPK begitu saja menyerah. Sebaliknya, KPK harus mengusahakan agar SBY dan putra bungsunya itu dapat dihadirkan di persidangan kasus Hambalang.
Sebagai negara hukum, dia mengingatkan, semua warga negara, tak terkecuali SBY sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki kesamaan di depan hukum.
"Menurut KUHP pasal 224 ayat (1), menolak panggilan sebagai saksi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana," ulasnya.
SBY, kata dia menekankan, seyogyanya belajar dari sikap mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang sudah bersedia memberi kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkait megaskandal Century. Untuk itu ia berharap ketegasan KPK seperti pernah dinyatakan Ketua komisi antirasuah tersebut, Abraham Samad ketika memanggil paksa Anas.
"Jika SBY dan Ibas bisa hadir akan menjadi contoh nyata bahwa setiap orang menghormati atas hukum. Terkait alasan tidak memiliki pengetahuan tentang kasus tersebut, sebaiknya dijelaskan dalam proses pemeriksaan," terangnya.
Suparji juga menegaskan, hingga kini tidak ada UU Kepresidenan yang secara khusus mengatur kewajiban presiden untuk menghadiri panggilan instansi hukum.
"Tapi sebagai pemimpin negara dan juga warga negara, akan lebih baik hadir," tutup Suparji.
[wid]
BERITA TERKAIT: