Menurutnya, permasalahan Bank CIC terletak pada Surat-Surat Berharga (SSB). SSB Bank CIC sulit dijual di pasar uang bila dalam keadaan krisis dan butuh dana mendadak.
"Setelah saya masuk, ada laporan direktur
treasury di Bank ini (Century) ada warisan SSB sejak 2001 dan 2002 tapi tidak
liquid (cair) dan tidak bisa dijual di pasar uang. Sehingga kalau butuh dana tiba-tiba enggak bisa dijual. SSB-nya juga unik dan tidak seperti Sertifikat Bank Indonesia," kata Hasan saat bersaksi dalam sidang lanjutan Terdakwa Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/4).
Memang, diakui Hasan, nilai SSB Bank Century sangat besar yakni sekitar 224,6 juta dolar AS atau setara Rp 2 triliun. Walau begitu, dia masih merasa khawatir jika nantinya Century kesulitan modal dan tidak memiliki jaminan. Jika itu terjadi kemungkinan Century langsung ditutup oleh Bank Indonesia.
Nah, dia melanjutkan, hal itulah yang menyebabkan Century ambruk. Tahun 2008 atau tepatnya saat krisis ekonomi terjadi, para deposan besar baik perorangan maupun korporasi berlomba-lomba menarik simpanan mereka di bank yang saat ini bernama Bank Mutiara.
"Sehingga mengakibatkan situasi
rush. Karena tuntutan penarikan uang tinggi, Bank Century pun kesulitan modal untuk mengembalikan dana nasabah," terang dia.
Saat itu, sambung Hasan, ada dua pemegang saham pengendali Bank Century, yakni Rafat Ali Rizfi dan Hisyam Al Waraq, sempat memberikan jaminan modal sebesar USD 220 juta di Bank Dresdner, Jerman, sebagai pengganti jaminan SSB. Dia juga mengaku berkali-kali mendesak Rafat dan Hisyam menyelesaikan permasalahan itu, dengan cara menekannya melalui Perjanjian Komitmen (
Letter Of Commitment) antara direksi, pemegang saham pengendali, dan Bank Indonesia.
"Kami dari direksi juga bahu-membahu mencari tambahan modal di pasar uang, tapi sampai kalah
kliring pada 2008 masalah SSB tidak terselesaikan," tandasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: