Masalah ini berawal dari rencana Bayrou memangkas anggaran negara. Ia ingin menurunkan utang publik Prancis yang kini mencapai 114 persen dari PDB. Bayrou berencana menghemat 44 miliar Euro atau sekitar Rp770 triliun. Salah satu caranya adalah menghapus beberapa hari libur nasional dan membekukan kenaikan belanja pemerintah.
Kebijakan itu memicu penolakan luas. Banyak warga menilai langkah Bayrou terlalu berat. Serikat pekerja dan kelompok sipil telah menyerukan aksi mogok nasional dan protes besar-besaran pada 10 September 2025.
Bayrou meminta semua pihak berpikir ulang. Dalam pernyataannya pada Selasa, ia menegaskan bahwa Prancis hanya punya waktu 13 hari untuk menentukan pilihan.
“Apakah kita memilih kekacauan atau tanggung jawab?” kata Bayrou, dikutip dari AFP, Rabu 27 Agustus 2025.
“Apakah ada keadaan darurat nasional untuk menyeimbangkan kembali keuangan negara, keluar dari utang berlebih, dan mengurangi defisit kita?” ujarnya.
Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau memperingatkan, menjatuhkan pemerintah sekarang bisa memicu krisis keuangan besar.
“Yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat miskin,” ujarnya.
Gejolak ini sudah mempengaruhi pasar keuangan. Indeks saham CAC 40 di bursa Paris turun sekitar dua persen, lebih tajam dibanding bursa Eropa lainnya. Saham bank-bank Prancis ikut merosot. Imbal hasil obligasi pemerintah juga naik, tanda kepercayaan investor terhadap utang Prancis melemah.
Analis menilai kondisi ini sangat serius. Mujtaba Rahman, direktur Eurasia Group, mengatakan Bayrou kemungkinan besar akan jatuh.
“Dia mencoba mengejutkan publik dan sistem politik agar sadar soal krisis utang,” kata Rahman.
“Tapi bisa jadi, justru langkah ini mempercepat kejatuhannya sendiri," ujarnya.
Mathieu Gallard dari Institut Ipsos bahkan menyebut keputusan Bayrou meminta mosi kepercayaan di parlemen yang terbelah sebagai tindakan nekat.
“Ini seperti melakukan harakiri politik,” ujarnya.
BERITA TERKAIT: