Meskipun pengadilan federal telah meminta pembatalan kebijakan tersebut, Trump tetap melanjutkannya sambil mengajukan banding. Saat ini, nasib kebijakan tersebut berada di tangan Mahkamah Agung AS.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa selama belum ada putusan final dari Mahkamah Agung, kebijakan tarif Presiden Trump masih berlaku.
“Federal Court minta pembatalan, tetapi Trump melakukan banding. Nantinya Supreme Court (MA) yang akan memutuskan. Selama belum diputuskan Supreme Court, keputusan Trump tetap jalan,” kata Wijayanto kepada
RMOL pada Jumat 30 Mei 2025.
Ia menambahkan, Trump tetap berpeluang menang jika Kongres AS, yang kini dikuasai Partai Republik, menyetujui kebijakan tersebut.
“Trump bisa menang jika kemudian Kongres yang didominasi Republikan, memutuskan setuju dengan tariff karena ini memang ranah Kongres,” sambungnya.
Meski demikian, di tengah ketidakpastian hukum tersebut posisi AS dalam perundingan global dengan mitra dagang dinilai telah melemah. Menurut Wijayanto, negara-negara mitra cenderung akan mengambil sikap mengulur penerapan tarif negara Paman Sam tersebut.
“Perkembangan ini membuat situasi semakin dinamis, dan posisi tawar Trump makin lemah, negara-negara lain akan mencoba mengulur waktu,” tegasnya.
Terbaru, pemerintahan Trump diketahui telah merencanakan langkah kedua dengan mengenakan tarif hingga 15 persen terhadap mayoritas negara mitra dagang AS selama 150 hari. Ia berdalih untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan.
Langkah ini diambil setelah pengadilan memutuskan bahwa penggunaan Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional 1977 untuk menetapkan tarif dinilai melebihi kewenangan presiden. Namun, Pengadilan Banding untuk Sirkuit Federal masih mengizinkan kebijakan tersebut tetap dijalankan sambil menunggu hasil banding di Mahkamah Agung.
BERITA TERKAIT: