Kementerian dalam negeri mengatakan 110.000 orang turun ke jalan di seluruh negeri, termasuk 26.000 di Paris, sementara seorang tokoh sayap kiri terkemuka memperkirakan jumlah peserta di seluruh Prancis mencapai 300.000.
Selain ibu kota, protes juga terjadi di Nantes di barat, Nice dan Marseille di selatan, serta Strasbourg di timur.
Kubu kiri, yang dipimpin oleh partai sayap kiri France Unbowed (LFI), menuduh Macron mencuri pemilu setelah Macron menolak memilih kandidat aliansi New Popular Front (NFP) yang berada di posisi teratas dalam pemungutan suara bulan Juli.
Banyak demonstran yang melampiaskan kemarahan mereka kepada Macron dan beberapa menyerukan agar dia mengundurkan diri.
"Menyatakan suara tidak akan ada gunanya selama Macron berkuasa," kata pengunjuk rasa Manon Bonijol, seperti dimuat
Al Jazeera pada Minggu (8/9).
Macron mengakhiri kebuntuan politik selama dua bulan terakhir dengan menunjuk Barnier yang seorang mantan negosiator Brexit Uni Eropa sebagai perdana menteri.
Dalam wawancara pertamanya sebagai kepala pemerintahan, Barnier mengatakan pemerintahannya, yang tidak memiliki mayoritas yang jelas, akan mencakup kaum konservatif, anggota kubu Macron dan ia berharap, beberapa dari kubu kiri.
Barnier menghadapi tugas yang berat untuk mencoba mendorong reformasi dan anggaran 2025 karena Prancis berada di bawah tekanan dari Komisi Eropa dan pasar obligasi untuk mengurangi defisitnya.
Cole Stangler, seorang analis pemerhati politik Prancis, mengatakan para pengunjuk rasa merasa bahwa keputusan Macron tidak mencerminkan hasil pemilu sebelumnya.
Menurutnya, Macron dan kalangan bisnis semakin khawatir tentang tenggat waktu anggaran yang akan datang dan Barnier merupakan orang yang cocok untuk memuluskan langkah itu.
"Mereka harus mendapatkan anggaran yang disetujui pada akhir tahun dan mereka harus menyerahkan anggaran kepada parlemen paling lambat 1 Oktober," ungkapnya.
BERITA TERKAIT: