Maduro yang telah memimpin sejak Hugo Chávez meninggal tahun 2013 lalu kembali mencalonkan diri untuk memperpanjang masa jabatan ketiga berturut-turut.
Pesaing utamanya adalah, Edmundo González, seorang mantan diplomat yang mendapat dukungan dari koalisi partai oposisi.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa González unggul jauh atas petahana. Tetapi ada kekhawatiran bahwa hasil pemilihan ini dapat dimanipulasi, jika tidak sesuai dengan keinginan Maduro.
Ketakutan tersebut diperparah oleh fakta bahwa Maduro telah memberi tahu para pendukungnya bahwa ia akan menang dengan cara apa pun.
Selain itu, hanya ada sedikit pemantau pemilu independen di negara tersebut yang memantau pemilu, empat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tim teknis kecil dari Carter Center.
Undangan bagi pemantau Uni Eropa untuk hadir dibatalkan oleh kepala otoritas pemilu, yang merupakan sekutu dekat Presiden Maduro.
Mantan Presiden Argentina, Alberto Fernández, juga tidak diundang setelah ia mengatakan bahwa pemerintah Maduro harus menerima kemungkinan kekalahan dalam pemilihan.
Namun, Maduro telah menyambut ratusan tamu dari negara-negara yang bersekutu dengan pemerintahannya.
Sementara itu, pihak oposisi telah memobilisasi ribuan orang untuk bertindak sebagai saksi di tempat pemungutan suara.
Pemerintah telah menolak jajak pendapat yang dikutip oleh pihak oposisi, dengan menyatakan bahwa kandidat merekalah yang memimpin.
Maduro sendiri telah menggunakan bahasa yang keras menjelang pemungutan suara, mengancam akan ada pertumpahan darah jika ia dikalahkan.
Pernyataan itu membuatnya mendapat teguran langka dari pemimpin sayap kiri Brasil Luiz Inácio Lula da Silva.
"Maduro harus belajar bahwa jika menang, Anda tetap berkuasa, tetapi jika kalah, Anda pergi," tegas Lula, seperti dimuat
BBC.Maduro telah menggunakan gambar ayam jantan petarung sebagai simbol kampanyenya dan telah menyampaikan pesan yang agresif.
"Kami telah menang atas ribuan badai. Mereka tidak dapat mengalahkan kami, dan mereka juga tidak akan pernah mampu," tegasnya di acara kampanye.
Setelah terpilih kembali pada tahun 2018, yang secara luas dianggap tidak bebas dan tidak adil, Maduro menggagalkan upaya pemimpin oposisi Juan Guaidó untuk menggulingkannya dengan menyatakan dirinya sebagai presiden yang sah.
Sementara Guaidó didukung oleh lebih dari 50 negara, termasuk AS dan Uni Eropa.
Pada akhirnya, pemerintahan paralel Guaidó pun hancur, dan Maduro menggunakannya untuk menggambarkan dirinya sebagai pembela kedaulatan Venezuela.
Salah satu janji yang dibuat oposisi adalah mereka akan mengubah keadaan negara, sehingga jutaan warga Venezuela yang telah melarikan diri dari krisis politik dan ekonomi yang dideritanya di bawah Pemerintahan Maduro dapat kembali.
BERITA TERKAIT: