Hal itu disampaikan Kepala Bantuan PBB Martin Griffiths dalam sebuah pernyataan, seperti dimuat
AFP pada Senin (11/12).
Griffiths menyebut dunia saat ini tengah fokus mengamati konflik berkecamuk di Jalur Gaza. Di sisi lain, negara-negara seperti Sudan dan Afghanisan juga dinilai sebagai titik rawan yang membutuhkan bantuan internasional yang lebih besar.
Kendati demikian, kata Griffiths, PBB menghadapi masalah karena dana yang disiapkan tahun depan telah dikurangi dari 56,7 miliar dolar AS (Rp888 triliun) menjadi 46,4 miliar dolar AS (Rp721 triliun).
Dia melanjutkan, meski sudah dikurangi, dana tersebut masih merupakan jumlah yang sangat besar dan akan sulit untuk dikumpulkan karena banyak negara donor yang menghadapi krisis biaya hidup di negara mereka sendiri.
“Tanpa pendanaan yang memadai, kami tidak dapat memberikan bantuan penyelamatan jiwa. Dan jika kami tidak dapat memberikan bantuan tersebut, masyarakat akan membayar dengan nyawa mereka,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Griffiths, PBB akan mulai memfokuskan bantuan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Disebutkan bahwa dana telah disiapkan untuk 26 negara yang terjebak krisis dan 46 negara yang menghadapi dampak lanjutan seperti pengungsi.
Namun terdapat lima negara dengan permintaan bantuan kemanusiaan paling besar yakni Suriah (4,4 miliar dolar AS), Ukraina (3,1 miliar dolar AS), Afghanistan (3 miliar dolar AS), Ethiopia (2,9 miliar dolar AS), dan Yaman (2,8 miliar dolar AS).
Selain itu, kata Griffiths, ada 300 juta orang yang membutuhkan bantuan di seluruh dunia pada tahun depan. Namun PBB hanya akan menargetkan 180,5 juta dari jumlah tersebut, sisanya akan diambil alih oleh LSM dan lembaga bantuan swasta.
BERITA TERKAIT: