Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pernah Tersandung Skandal Plagiarisme, Biden Selalu Takut Dianggap Bodoh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Senin, 04 September 2023, 07:43 WIB
Pernah Tersandung Skandal Plagiarisme, Biden Selalu Takut Dianggap Bodoh
Joe Biden/Net
rmol news logo Lebih dari tiga puluh tahun setelah skandal plagiarisme yang menggagalkan kampanye pertamanya untuk menjabat sebagai orang nomor satu di Gedung Putih, Joe Biden dikatakan masih merasa tidak yakin dengan pandangan orang terhadap kecerdasannya.

Klaim tersebut disampaikan penulis biografi baru tentang Biden, Franklin Foer, selama wawancara dengan Chuck Todd dari NBC News, Minggu (3/9).

“Salah satu hal yang sangat menarik tentang Joe Biden adalah dia memiliki rasa tidak aman yang membuatnya waspada dan mengatur cara dia bergerak di dunia,” kata Foer.

“Jadi, salah satu rasa tidak aman utamanya adalah dia tidak ingin dianggap bodoh karena dia pernah mengalami skandal plagiarisme pada tahun 1980an," katanya.

Oleh karena itu, kata Foer, Biden bersikeras melakukan persiapan matang sebelum wawancara dan konferensi pers agar bisa menguasai topik yang akan dibicarakannya.

“Sesi persiapannya saja bisa berlangsung lama," ujarnya.

Biden menjadi bahan tertawaan ketika ia ketahuan menjiplak pidato politisi lain saat berkampanye untuk presiden pada tahun 1987. Media juga melaporkan bahwa ia berbohong tentang catatan akademisnya dan keterlibatannya dalam gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an.

Dalam salah satu pertemuan dengan para pemilih, Biden menghina kecerdasan seseorang yang mempertanyakan kredibilitasnya. Ia juga menyombongkan diri bahwa dirinya bersekolah di fakultas hukum dengan beasiswa akademis penuh, meraih tiga gelar, meraih peringkat teratas di kelasnya, dan dinobatkan sebagai siswa berprestasi dalam ilmu politik.

Namun, semua pernyataan itu tidak benar. Ia terus membuat klaim palsu tentang latar belakangnya, termasuk aktivisme hak-hak sipil pada tahun 1960-an.

Buku Foer yang berjudul 'The Last Politician' merinci dua tahun pertama Biden di Gedung Putih. Dia menulis bahwa ketajaman mental Biden yang berusia 80 tahun terhambat oleh usianya yang sudah lanjut, sehingga menghilangkan energinya untuk bisa tampil prima di depan publik atau bahkan hilangnya kemampuan untuk mengingat sebuah nama.

Foer menambahkan bahwa citra presiden di depan publik mencerminkan kemerosotan fisik dan melemahnya kemampuan mental seiring berjalannya waktu yang tidak dapat ditolak oleh rezim mana pun.

"Secara pribadi, dia kadang-kadang mengakui kepada teman-temannya bahwa dia merasa lelah," ujarnya.

Baik sebelum maupun sesudah terpilih sebagai presiden, Biden sering mengalami gangguan saat tampil di depan umum.

Salah satunya ketika dia marah saat staf Gedung Putih mencoba menarik kembali pernyataannya pada Maret 2022 di sebuah acara di Warsawa yang menyatakan bahwa pemerintahannya bertujuan mencapai perubahan rezim di Rusia, dan memaksa Presiden Vladimir Putin dari jabatannya.

"Biden membenci para pembantunya karena menciptakan kesan bahwa mereka telah membereskan kekacauannya,” tulis Foer.

“Daripada mengakui kegagalannya, dia malah mengomel kepada teman-temannya karena dia diperlakukan seperti anak balita. Apakah John Kennedy pernah diasuh seperti itu?” lanjutnya.

Penulis mengatakan Biden juga marah atas rendahnya peringkat dukungan publik terhadap dirinya.

Foer mengatakan, Biden sebagian besar menyalahkan media karena gagal menunjukkan bahwa pemerintahannya lebih unggul dibandingkan pendahulunya, Donald Trump.

“Itu juga merupakan kegagalan Gedung Putih dalam berkomunikasi secara efektif,” menurut buku Foer.

Dalam wawancara Minggu, Foer mengatakan bahwa dia tidak akan terlalu terkejut seandainya Biden tiba-tiba mengakhiri upayanya untuk terpilih kembali pada pemilihan 2024.

“Ini tidak akan terlalu mengejutkan,” katanya.

“Ketika dia berbicara tentang hidupnya, dia menggunakan kata 'takdir' terus-menerus. Joe Biden adalah orang yang sangat religius, dan takdir adalah sebuah kata yang sarat dengan makna religius, dan dia selalu berbicara tentang, 'Dia tidak bisa mengatakan kemana nasib akan pergi.' Jadi, ketika saya mendengarnya, bagi saya, itu adalah elips dalam kalimat ketika dia berbicara tentang masa depannya sendiri," demikian Foer. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA