Perempuan Turkiye yang bercerai dan ingin menikah kembali diwajibkan menunggu selama 300 hari. Hal ini untuk memastikan identitas ayah biologis, apabila janda tersebut hamil selama masa iddah.
Bagi mereka yang tidak mematuhi undang-undang Turkiye tersebut, mereka diharuskan memberi bukti medis bahwa mereka tidak hamil.
Menurut ECtHR, kurun waktu yang sangat panjang dan persyaratan tes medis yang dibebankan kepada perempuan Turkiye, merupakan bagian dari diskriminasi gender.
Oleh sebab itu, dengan suara bulat Pengadilan Eropa menyimpulkan bahwa kebijakan Turki tersebut telah melanggar Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR).
"Praktik itu melanggar Pasal 8 yang menjamin hak untuk menghormati kehidupan pribadi dan Pasal 14 yang melarang diskriminasi dalam ECHR," bunyi laporan pengadilan, seperti dikutip dari
Global Voices pada Rabu (5/7).
Selain itu, ECtHR menepis argumen bahwa praktik ini bertujuan untuk mencegah ketidakpastian mengenai ayah biologis seorang anak.
"Identitas ayah biologis untuk mencegah kebingungan dalam silsilah keluarga tidak memiliki tempat dalam masyarakat modern," tegas ECtHR.
Persyaratan masa iddah Turkiye berasal dari undang-undang syariah Islam era Ottoman dan dikodifikasikan dalam Pasal 132 KUH Perdata Turkiye, dikenal sebagai “iddet,” dan pada awalnya diberlakukan untuk menghindari perselisihan paternal filiasi.
BERITA TERKAIT: