Salah seorang analis sekaligus penulis laporan, Maria Engqvist mengatakan bukan perang Ukraina yang menjadi alasan di balik invasi besar-besaran Rusia.
"Ini lebih pada persepsi Rusia sebagai kekuatan besar. Terlepas dari bagaimana perang di Ukraina berkembang, konfrontasi Rusia dengan Barat akan berlarut-larut," ungkapnya, seperti dimuat
FOI pada Selasa (20/6).
Engqvist memperkirakan Rusia telah kehilangan antara 500 ribu hingga 100 ribu tentara yang tewas atau terluka selama perang setahun terakhir.
Rusia juga mengalami kerugian materiil yang besar pada industri pertahanannya.
Tetapi, menurut Engqvist, bukan itu yang membuat Rusia ingin mengakhiri perang. Bahkan saat Putin tidak lagi memimpin, konfrontasi dengan Barat tetap akan tetap berlanjut.
Dikatakan Engqvist, Rusia melihat dirinya sebagai negara adikuasa dengan hak-hak khusus dan lingkup pengaruhnya sendiri untuk diputuskan.
"Moskow sebenarnya menargetkan Barat yang diduga berusaha menghancurkan kedaulatan Rusia," kata Engqvist.
Ekonomi Rusia bahkan mampu bertahan di tengah sanksi ekonomi Barat. China dan banyak negara lainnya masih membeli minyak dan gas dari Moskow.
"Rusia tidak takut perekonomiannya jatuh, dan kebutuhan warganya tidak akan mempengaruhi pembiayaan perang," jelasnya.
Engqvist juga membahas bagaimana konflik militer Ukraina membuat sekutu Rusia mulai mempertimbangkan kembali hubungan mereka.
"Saat ini, Belarusia tetap menjadi sekutu. Namun, negara-negara seperti Kazakhstan, Moldova, dan Turkmenistan mulai mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Rusia," ungkapnya.
Mereka yang bimbang, disebut Engqvist mulai melihat ke arah Uni Eropa atau negara-negara seperti China, Iran, dan Turki.
BERITA TERKAIT: