Dalam kalender itu, pria bernama Narathorn Chotmankongsin mendesain kalender dengan seekor bebek. Padahal unggas tersebut menjadi maskot tidak resmi dari pengunjuk rasa pro-demokrasi pada akhir 2020 lalu.
Terlihat seekor bebek di kelilingi oleh anjing yang mengenakan selempang dan medali militer dalam desain itu. Sementara tulisannya menyebut "sangat berani, sangat berbakat, terima kasih".
Pada gambar desain lainnya, bebek itu menggunakan perlengkapan polisi anti huru-hara, dengan judul "edisi khusus kalender kerajaan".
Atas desain kontroversial tersebut, pengadilan di Bangkok mengatakan Chotmankongsin menghina raja. Ia dijerat di bawah UU ketat
lese-majeste dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, yang kemudian diringankan menjadi dua tahun karena ia bekerja sama dengan pengadilan.
Berdasarkan
lese-majeste, siapa pun yang memfitnah, menghina, atau mengancam raja dan kerabat terdekatnya dapat dijatuhi hukuman hingga 15 tahun penjara.
Menanggapi vonis terhadap Chotmankongsin, Human Rights Watch (HRW) mengecam pengadilan Thailand, dengan mengatakan bahwa UU itu sering dieksploitasi partai politik untuk menekan rakyat.
“Kasus ini mengirim pesan ke semua warga Thailand, dan ke seluruh dunia, bahwa Thailand bergerak lebih jauh dari demokrasi yang menghargai hak asasi manusia,†kata direktur Asia di HRW, Elaine Pearson.
Namun, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, yang mengkudeta kekuasaaan pada 2014 lalu menolak klaim tersebut, dengan mengatakan bahwa aturan itu digunakan untuk melindungi monarki, agar tetap dihormati warga Bangkok.
BERITA TERKAIT: