Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sidang Kasus Genosida Rohingya Akan Jadi Panggung "Pengakuan" Siapa yang Memerintah di Myanmar?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Jumat, 18 Februari 2022, 15:19 WIB
Sidang Kasus Genosida Rohingya Akan Jadi Panggung "Pengakuan" Siapa yang Memerintah di Myanmar?
Mahkamah Internasional di Den Haag/Net
rmol news logo Isu dugaan pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas Rohingya oleh pemerintah Myanmar masih lekat di ingatan, meskipun kini kekuasaan di negara tersebut telah diambil alih oleh junta militer.
Bukan wacana kosong belaka, isu tersebut akan dibahas lebih jauh ke atas meja persidangan Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag pekan depan.

Mengapa bisa dibahas di meja persidangan ICJ?

Tercatat ada lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras yang dipimpin militer pada tahun 2017. Warga Rohingya pun terpaksa angkat kaki dari Myanmar dan berakhir di kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh.

Pada saat itu, Myanmar masih dikuasai oleh Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang merupakan pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis dengan pimpinan de facto-nya adalah Aung san Suu Kyi.

Nasib yang menimpa ratusan ribu warga Rohingya itu pun mengundang perhatian banyak pihak di dunia, termasuk Gambia.

Pada tahun 2019, Gambia yang merupakan negara Afrika berpenduduk mayoritas Muslim itu mengajukan klaim kepada ICJ dengan menyebut bahwa Myanmar telah melakukan genosida terhadap populasi minoritas Muslim Rohingya. Langkah Gambia itu didudukung oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Klaim Gambia itu didukung oleh tembuan penyelidik PBB yang menyimpulkan bahwa kampanye militer telah dilakukan dengan "niat genosida" di Myanmar.

Sebelum jatuhnya pemerintahan sipil NUG Myanmar, pimpinan de facto Aung San Suu Kyi membantah tuduhan genosida sebagaimana yang diklaim Gambia.

Namun kini, situasi politik berubah di Myanmar. Junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari 2020 lalu dan merebut kekuasaan dari tangan pemerintah sipil hingga saat ini.

Oleh karena itu, pada sidang terbaru yang akan dilakukan di Den Haag pekan depan, dikabarkan Channel News Asia, junta militer Myanmar kemungkinan akan mengambil bagian dalam dengar pendapat di ICJ.

Hal tersebut mengundang kritik tersendiri dari lawan politik di Myanmar. Mereka menilai bahwa kehadiran junta militer di ICJ untuk mewakili Myanmar akan bisa memberikan pengakuan internasional terhadap pemerintahan junta militer di Myanmar meski tanpa kedudukan hukum.

Sebelumnya,sejumlah badan PBB telah mengundang perwakilan junta ke pertemuan meskipun militer Myanmar tidak memiliki kedudukan formal di markas besar PBB di New York.

Komite kredensial Majelis Umum PBB pun memutuskan pada bulan Desember lalu untuk menunda keputusan tentang masalah tersebut.

Sementara itu, komite kredensial telah mengizinkan Kyaw Moe Tun, perwakilan pemerintah yang digulingkan dalam kudeta militer 1 Februari 2021, untuk tetap menjabat.

Anggota NUG lainnya menilai bahwa Kyaw Moe Tun, yang juga ditunjuk oleh pemerintah bayangan untuk mewakilinya di Den Haag, adalah satu-satunya orang yang berwenang untuk terlibat dengan pengadilan atas nama Myanmar.

"Junta bukanlah pemerintah Myanmar," kata Christopher Sidoti, seorang pengacara hak asasi manusia dan mantan anggota misi pencari fakta PBB di Myanmar.

"Junta tidak memiliki wewenang atau kemampuan untuk bertindak sebagai pemerintah Myanmar di dalam atau di luar negeri. Tetapi dengan tampil di hadapan ICJ, itulah yang akan coba dilakukan," kata Sidoti, seperti dikabarkan Reuters. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA