Pada Sabtu (22/5), ratusan penduduk Kota Maxen dan sekitarnya berduyun-duyun datang ke Rumah Biru atau Blaues Häusel di Kota Maxen untuk memperingati kelahiran Raden Saleh yang pernah tinggal dan berkarya di kota kecil itu pada periode 1839-1849.
Raden Saleh mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial untuk mengasah keterampilan lukisnya di Belanda pada tahun 1829. Di Belanda ia belajar melukis kepada maestro pelukis romantisme Eropa seperti Cornelis Kruseman dan Andries Schelfhout. Namun perlakuan masyarakat Belanda pada umumnya yang memandang Raden Saleh sebagai warga kelas dua karena merupakan penduduk wilayah jajahan membuatnya memutuskan untuk hijrah ke Jerman pada 1839.
Dari Den Haag ia berkelana ke arah timur dan mengunjungi kota-kota di Jerman seperti Düsseldorf, Frankfurt dan Berlin untuk melanjutkan studi melukisnya dengan pelukis-pelukis lokal Jerman hingga akhirnya tiba di kota Dresden dan Maxen dimana ia tinggal selama 10 tahun karena merasa diterima sepenuh hati oleh orang-orang lokal yang menghargai karya lukisnya dan menghargai dirinya sebagai manusia. Orang-orang Jerman saat itu memanggilnya 'Pangeran dari Jawa'.
“Hari ini adalah Hari Indonesia. Di depan Rumah Biru ini kita memperingati kelahiran seorang pelukis Jawa 210 tahun lalu, namanya Raden Saleh dan ia pernah menjadi bagian penting dari kota Maxen," kata Jutta Tronicke, salah seorang warga Maxen yang aktif mempromosikan tokoh Raden Saleh di Jerman bersama dengan KBRI Berlin, seperti rilis yang diterima
Kantor Redaksi RMOL, Senin (24/5).
"Ia datang ke kota ini pada 1839 dan berkawan baik dengan Tuan Friedrich Serre yang membangun pavilion ini di tahun 1848 sebagai tanda hormat untuk Raden Saleh,†lanjutnya.
Pasangan Michael dan Giselle Simon, yang turut hadir dalam acara ini menyatakan bahwa tokoh Raden Saleh adalah ikon persahabatan antara masyarakat Indonesia dan Jerman, jembatan kultur antara Indonesia dan Jerman, sehingga kedua bangsa bisa saling mengenal, mengisi dan memperkaya.
"Bayangkan, seorang Jawa bisa hadir di Maxen ratusan tahun lalu. Menjadi bagian dari masyarakat Maxen dan dihormati karena karya lukisnya yang luar biasa. Dia memperkenalkan Jawa kepada orang-orang Jerman melalui karya seni,†tutur mereka.
Empat pohon apel ditanam di sepanjang jalan setapak menuju Rumah Biru untuk memperingati kelahiran sang pelukis atas prakarsa dari Duta Besar RI, Arif Havas Oegroseno. Ini juga menjadi simbol penghormatan atas jasa Raden Saleh sebagai 'Duta Budaya' Indonesia untuk Jerman di abad ke-19.
Pemilik dan pengelola Rumah Biru, Marid Helbig, menyampaikan penghargaannya atas kerja sama dan dukungan Pemerintah Indonesia melalui KBRI Berlin terhadap keberadaan Rumah Biru Raden Saleh di Maxen yang berstatus cagar budaya yang dilindungi oleh Pemerintah Jerman.
Di bagian atas pintu pavilion Rumah Biru ini terukir dua inskripsi aksara Jawa dan Jerman yang artinya 'Muliakan Tuhan dan Cintailah Manusia'.
Inskripsi ini dibuat oleh Raden Saleh karena dia sendiri yang diminta oleh Friedrich Serre untuk menjadi arsitek bangunan ini.
Raden Saleh meninggal di Bogor pada 23 April 1880. Karya-karya lukisnya bernilai tinggi dan salah satu lukisannya yang terjual di rumah lelang di Perancis harganya mencapai hampir 10 juta dolar Amerika.
Lukisan-lukisan Raden Saleh kini bisa dinikmati di 43 museum di seluruh dunia, belum lagi sejumlah lukisannya yang dimiliki oleh kolektor pribadi.
Raden Saleh tidak hanya mewariskan ratusan karya lukisnya yang indah untuk dunia, tapi jejak langkahnya di Jerman juga menjadi warisan berharga yang mempersatukan masyarakat Indonesia dan Jerman.
BERITA TERKAIT: